Dewan Pemburu Rente
The phenomenon of corruption goes deep into the very nature of power in Indonesia.
(Richard Robison; The Rise of Capital, 1986)
Kutipan ini menggambarkan bahwa akar korupsi di Indonesia berasal dari kekuasaan politik.
Para aktor dan elite politik bermusyawarah tidak untuk memberikan kebaikan sebesar-besarnya bagi rakyat, tetapi justru berkolusi untuk menggerogoti dana-dana publik (APBN/APBD). Pembangunan gedung baru DPR menjadi bentuk perilaku korup para legislator dengan menggunakan kekuasaan yang melekat pada fungsi DPR, salah satunya menyangkut fungsi di bidang anggaran. Dengan fungsi ini, DPR telah mengabaikan penolakan publik atas pengalokasian anggaran pembangunan gedung baru tersebut.
Sikap ini juga bisa dipandang sebagai sikap apatis para anggota DPR terhadap keterpurukan perekonomian masyarakat Indonesia. DPR lebih memilih memperjuangkan kepentingan diri dan kroninya dengan menginjak-injak amanah pemilihnya. Meskipun menuai penolakan publik, pembangunan gedung setinggi 36 lantai dengan biaya Rp 1,3 triliun dipastikan tetap dilakukan (Kompas, 8/3).
Upaya pembangunan gedung ini telah menghabiskan anggaran negara hingga Rp 14,7 miliar, yang digunakan pada tahap awal perencanaan. Padahal, tahun 2010 telah dianggarkan Rp 250 miliar. Jika dikalkulasi, pembangunan gedung baru DPR ini tidak hanya berada pada kisaran Rp 1,3 triliun, tetapi akan sampai pada angka Rp 1,4 triliun (Fitra).
Kebohongan DPR
Inisiatif pembangunan gedung baru ini sejak awal telah dicurigai karena tidak berdasarkan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan. DPR telah berbohong untuk memuluskan rencana pembangunan gedung.
Kebohongan diduga sebagai bentuk ”legalisasi” rencana pembangunan gedung baru DPR. Setidaknya DPR telah melakukan empat kebohongan.
Pertama, bohong tentang kemiringan gedung DPR. Klaim ”gedung miring” ini terbantahkan dengan sendirinya. Kedua, kebohongan DPR bahwa semua fraksi menyetujui rencana pembangunan. Fakta yang terungkap justru sebaliknya, Fraksi Gerindra ternyata telah dua kali menolak, yakni pada Oktober 2010 dan Januari 2011.
Kebohongan ini patut digugat dan diungkap karena Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan, jika salah satu fraksi saja menolak usulan ini, pembangunan gedung baru akan dibatalkan. Ternyata, pascapenolakan Fraksi Gerindra, upaya pembangunan gedung tetap berlangsung.
Kini, fraksi yang menolak usulan sepertinya telah berbalik arah jadi mendukung. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR yang juga kader Fraksi Gerindra bahwa pembangunan akan tetap dilanjutkan (Kompas, 8/3).
Ketiga, kebohongan DPR menyangkut upaya perbaikan kinerja. Alasan ini masuk kategori kebohongan karena fakta yang ada justru sebaliknya. Fasilitas yang selama ini diberikan oleh negara kepada anggota DPR ternyata tidak berdampak meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan ketiga fungsi DPR: legislasi, pengawasan, dan anggaran (”Darurat Parlemen”, Kompas 13/1).
Keempat, kebohongan DPR yang ”mengambinghitamkan” karyawan DPR dalam penyediaan fasilitas rekreasi, seperti kolam renang, pada gedung baru. Padahal, tak ada survei apa pun yang bisa menjustifikasi bahwa karyawan DPR membutuhkan itu. Kebohongan-kebohongan ini jadi pelengkap dari permufakatan jahat parlemen untuk menggerogoti dana publik dengan ”topeng” pembangunan gedung baru. Fakta ini seharusnya menyadarkan masyarakat bahwa pilihan mereka untuk mewakilkan kepentingan melalui anggota DPR telah dikhianati.
Memburu rente
Kecurigaan adanya kepentingan bisnis di balik pembangunan gedung ini semakin tidak terbantahkan. Apalagi, tren menunjukkan, tidak sedikit anggota DPR yang memiliki latar belakang sebagai pebisnis.
Dalam sejarah politik di Indonesia, tampaklah bahwa akar korupsi terdapat dalam praktik pemburuan rente yang sudah berurat-akar sejak zaman prakemerdekaan. Para elite secara sistematis menggunakan pengaruhnya untuk memengaruhi setiap pengambilan keputusan dalam perencanaan anggaran.
Hal yang sama juga ditengarai terjadi pada tataran aktor dan elite politik di parlemen. Walaupun telah mengalami pemutakhiran, ternyata perilakunya tetap sama.
Konfigurasi semacam ini telah menjadi ”parasit” bagi negara, terutama dalam hal pengelolaan dana publik, sehingga inisiatif untuk menyejahterakan masyarakat hanya menjadi slogan semata.
Pembangunan gedung baru DPR yang bermasalah ini menyiratkan bahwa problem politik semacam ini sedang melanda DPR. Mereka seolah-olah bermetamorfosis dari wujud yang ideal (Dewan Perwakilan Rakyat) menjadi Dewan Pemburu Rente.
Reza Syawawi Peneliti Hukum dan Kebijakan TI Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, 17 Maret 2011