Dilema Menata Bisnis TNI
Nilai aset bisnis TNI yang menggurita di berbagai kota dan daerah ternyata hanya sekitar Rp 1 triliun. Itu sudah termasuk aset di pohon bisnis di lingkungan TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU (Jawa Pos, 30 April 2008).
Nilai aset bisnis TNI yang menggurita di berbagai kota dan daerah ternyata hanya sekitar Rp 1 triliun. Itu sudah termasuk aset di pohon bisnis di lingkungan TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU (Jawa Pos, 30 April 2008).
Berita Jawa Pos tersebut mengejutkan, kenapa? Selama ini muncul anggapan bahwa bisnis TNI yang mengakar dan merambah semua sektor, ternyata asetnya tidak seperti yang dibayangkan orang?
Bisnis TNI yang lahir sejak masa awal kemerdekaan itu sudah menjadi rahasia umum. Bentuknya bermacam-macam, mulai koperasi, yayasan, perseroan terbatas, hingga CV-CV. Jenis usahanya bergerak pada bidang-bidang seperti jasa transportasi, perhotelan, pendidikan, HPH, perbankan, jasa konstruksi, industri kimia, dan asuransi. Di masa lalu, usaha mereka ditopang korporatisme negara yang kuat dan TNI menjadi bagian dari usaha untuk berburu rente.
Usaha itu diawali longgarnya aturan yang membiarkan mereka mencari dana tambahan di luar yang disediakan negara. Dengan alasan negara Orde Baru yang tidak bisa membiayai anggaran ABRI waktu itu, mereka leluasa mendirikan usaha sendiri.
Konsep jalan tengah menjadi alasan semakin kuatnya ABRI masuk dalam ruang politik dan ekonomi di masa Orde Baru. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, seperti HPH, dapat dikatakan sebagai dominasi dari usaha kaum militer di masa lalu.
Pertanyaannya, benarkah aset bisnis TNI hanya sebesar itu? Tentu besaran angka tersebut debatable karena di balik angka Rp 1 triliun, ada sesuatu yang patut dikritisi, yaitu metamorfosis bisnis TNI sebelum keluarnya peraturan presiden untuk pengambilalihan bisnis TNI tersebut.
Metamorfosis dan Pengalihan
Setelah keluarnya UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya pasal 36 dan 76 yang berkaitan dengan larangan TNI berbisnis dan masalah pengambilalihan bisnis TNI, baik secara langsung maupun tidak langsung, selama lima tahun sejak UU tersebut berlaku, ada kecenderungan pengalihan bisnis TNI.
Bentuk pengalihan bisnis TNI itu bermacam-macam. Pertama, perubahan pemodalan dari aset yang dimiliki TNI. Kedua, perubahan pada pola dan cara beraktivitas. Ketiga, perubahan penggiat dan personal yang bertanggung jawab dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.
Keempat, perubahan dengan melakukan penjualan dan berkolaborasi dengan pemda dan pengusaha setempat. Kelima, mengupayakan penghilangan aset dan aktivitas bisnis TNI dengan menjual asetnya atau bahkan membuat perusahaan bangkrut. Tidak memiliki aset lagi (Lihat, Muradi, ddk, 2007).
Kelima kecenderungan bentuk pengalihan bisnis TNI pasca keluarnya UU No 34/2004 lalu menjadikan upaya pengambilalihan bisnis TNI menjadi dilematis. Dilematis karena asetnya kecil dan justru sebagian besar bermasalah atau bangkrut. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Pertama, UU No 34/2004 memberikan amanat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam waktu lima tahun mengambil alih bisnis TNI. Lahirnya Keppres No 7/2008 tentang Tim Nasional yang beranggota 10 orang tersebut bisa dikatakan terlambat.
Apa dampak keterlambatan tersebut? Secara umum, sebagian besar yayasan yang membawahi bisnis TNI justru melakukan strategi penjualan aset yayasan ke pihak luar.
Sebagai contoh, dari inventarisasi YKEP yang memiliki 57 jenis usaha, sekitar 12 lebih perusahaan telah terjual. Sebagian lain dipertahankan dan sebagian lainnya diserahkan untuk memenuhi kebijakan pemerintah (yang dimaksud adalah berlakunya UU No 34/2004 pasal 76).
Kecenderungan demikian itu tidak akan terjadi bila tim yang melakukan pengambilalihan tidak dibentuk terlambat, yang terkesan hanya untuk memenuhi amanat UU.
Kedua, perusahaan yang diserahkan untuk memenuhi pasal 76 UU No 34/2004 justru bermasalah. Bermasalah karena asetnya lebih kecil dibandingkan dengan utang-utangnya dan cenderung memiliki utang kepada pihak lain atau dalam arti lain pailit.
Ketiga, dalam kasus YKEP, ternyata sebagian besar aset perusahaan yang akan diserahkan untuk memenuhi pasal 76 tersebut sangat kecil (ratusan juta), sementara yang miliaran rupiah telah terjual. Rata-rata YKEP menjual aset perusahaan yang di atas satu miliar, sebagian lainnya dipertahankan sebagai syarat untuk memenuhi 25 persen kegiatan yayasan.
Keempat, ada kesan pembiaran dalam penataan bisnis TNI sebagaimana diamanatkan UU No 34/2004. Terlalu lamanya waktu pembentukan tim nasional oleh presiden yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan penataan bisnis menyebabkan adanya gejala sebagian besar yayasan di bawah TNI melakukan upaya pengubahan aset yayasan, yang justru berpotensi merugikan negara.
Masalah Klasik
Di balik masalah pengambilalihan bisnis TNI di atas, ada sesuatu yang patut diapresiasi. Bisnis militer selama ini dianggap sebagai salah satu faktor ketidakprofesionalan TNI dalam tugas-tugas utamanya. Dengan kata lain, bila mereka tidak lagi berbisnis, profesionalitas TNI diharapkan akan segera terwujud.
Masalahnya, kemampuan negara yang minim dalam menyediakan anggaran pertahanan, apakah upaya pengambilalihan itu dapat dikatakan sebagai pilihan strategi keluar ataukah justru akan memicu masalah baru.
Sebab, upaya untuk mengubah dari militer yang berpolitik dan bisnis (political and bussines army) menjadi militer yang profesional memang tidaklah mudah. Salah satu agendanya, apakah negara dapat menyediakan kesejahteraan bagi prajurit, dana anggaran pertahanan, dan penyediaan alutsista bagi TNI yang memadai.
Dengan demikian, ada baiknya dipikirkan kembali bahwa hasil dari pengambilalihan itu dapat dijadikan sebagai modal awal bagi negara untuk membentuk industri pertahanan sehingga memiliki manfaat bagi TNI.
Moch. Nurhasim, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 Mei 2008