Disorientasi Hukum dan Korupsi
Beberapa kasus korupsi yang terungkap dalam dua tahun belakangan ini, seperti kasus kartu tanda penduduk elektronik dan "Papa Minta Saham", memunculkan drama baru dalam menindak koruptor. Kasus yang menimpa mereka telah menciptakan tameng baru untuk menghadang jeratan hukum yang seharusnya mereka terima. Sebab, pengadilan memberikan putusan yang seakan-akan memperkuat posisi koruptor.
Sebagaimana diungkapkan Gustaf Radbuch, keadilan merupakan sifat normatif dan konstitutif dari hukum. Sebab, keadilan berfungsi sebagai prasyarat transendental yang mendasari setiap hukum positif yang bermartabat (Bernard L. Tanya, dkk: 2013). Karena itu, hukum positif perlu dijaga martabatnya dengan berfokus pada keadilan masyarakat sebagai orientasi hakiki. Hukum sebagai alat untuk mencapai keadilan tidak boleh dijadikan "berhala". Logika hukum harus mencerminkan keadilan masyarakat. Dengan begitu, hukum tidak dapat dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat kepentingan kelompok/individu tertentu, melainkan semata-mata hanya untuk keadilan masyarakat.
Namun, untuk kondisi saat ini, hukum di Indonesia seperti kehilangan orientasinya. Tidak sedikit hukum yang diciptakan melalui "palu keadilan" hakim justru tidak membuat keadilan itu lahir, tapi lebih pada kezaliman terhadap hukum. Kondisi demikian tentu sudah sangat menyimpang dari apa yang diharapkan dari hukum.
Beberapa putusan hakim baru-baru ini menuai respons negatif masyarakat karena dianggap tidak mencerminkan keadilan, tapi justru membuat para koruptor terjaga dan korupsinya pun menjadi semakin subur. Padahal korupsi yang dibiarkan itu sama saja dengan menyayat-nyayat hati masyarakat serta tidak mencerminkan rasa keadilan sama sekali.
Beberapa putusan hakim tersebut terealisasi dari beberapa perkara kasus korupsi, ketika para tersangka melakukan upaya hukum hingga melahirkan hukum baru yang menjadi tameng kuat bagi koruptor. Kasus itu di antaranya, pertama, dalam mengungkap kejahatan korupsi, alat bukti yang didapat penegak hukum harus diperoleh secara sah. Ini diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 20/PUU-XVI/2016. Mahkamah menyatakan bahwa dokumen elektronik bukanlah alat bukti yang sah kecuali diperoleh atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi penegak hukum. Karena diputuskan demikian, maka perkara "Papa Minta Saham" tidak dapat diungkap karena alat bukti kuat untuk mengungkapnya didapat secara diam-diam dan bukan oleh penegak hukum.
Kedua, adanya korupsi harus dibuktikan secara materiil. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 terkait dengan pengujian materi Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menimbulkan norma baru dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam putusan itu, Mahkamah menyatakan kata "dapat" dalam pasal tersebut dihapuskan. Konsekuensinya, Komisi Pemberantasan Korupsi kewalahan dalam menuntaskan tugasnya karena harus membuktikan terlebih dulu adanya kerugian negara yang nyata sebelum menindak tersangka korupsi.
Ketiga, adanya kerugian negara tersebut tidak serta-merta menjadi kewenangan KPK. Sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, kewenangan konstitusional dalam mengumumkan kerugian negara dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Maka KPK harus menunggu terlebih dulu pemeriksaan BPK tentang ada atau tidaknya kerugian itu.
Keempat, alat bukti dalam menjerat pelaku korupsi tidak boleh menggunakan alat bukti yang sudah digunakan tersangka lain. Ketentuan baru ini muncul ketika Setya Novanto melakukan upaya praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penetapannya sebagai tersangka oleh KPK. Menurut kuasa hukumnya, penetapan Setya tidak sesuai dengan prosedur karena menggunakan alat bukti yang sudah digunakan oleh tersangka lain. Setya pun akhirnya bebas dari jeratan hukum. Hal ini akan menjadi preseden buruk bagi kasus serupa pada masa depan.
Empat hal itu menunjukkan bahwa hukum di Indonesia, khususnya dalam penegakan tindak pidana korupsi, telah kehilangan orientasinya. Hukum tidak lagi berorientasi pada keadilan, tapi hanya pada logika belaka yang jelas-jelas menyuburkan korupsi yang kian merajalela dan mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Arifudin, Pengajar hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah