Disuap Rp 2 M, Dibui Enam Tahun
Kecemasan anggota Komisi V DPR Bulyan Royan menghadapi vonis hakim kemarin terjawab. Majelis hakim mengganjar legislator Partai Bintang Reformasi (PBR) itu dengan pidana enam tahun penjara. Dia juga diwajibkan mengembalikan dana yang diminta dari sejumlah rekanan proyek kapal patroli di Departemen Perhubungan (Dephub) senilai Rp 2 miliar.
Majelis hakim yang diketuai Gusrizal menyebutkan, perbuatan Bulyan memenuhi pelanggaran pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor. "Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi sehingga pidana harus dijatuhkan," ucap Gusrizal dalam sidang di Pengadilan Tipikor kemarin.
Hakim juga membebankan kepada pria kelahiran Bengkalis itu untuk membayar uang pengganti Rp 2 miliar. Uang tersebut dikurangi USD 80 ribu yang telah disetorkan Bulyan kepada KPK.
Hakim beralasan, uang yang diberikan rekanan Dephub kepada Bulyan itu merupakan uang negara yang bersumber dari APBN. Karena itu, hakim tidak meluluskan permintaan Bulyan untuk membuka rekeningnya yang kini diblokir. "Pembukaan rekening akan diberikan apabila terdakwa telah membayar uang pengganti tersebut," jelasnya.
Hukuman Bulyan itu lebih rendah daripada tuntutan jaksa. Dalam sidang sebelumnya, jaksa menuntut politikus plontos tersebut delapan tahun penjara.
Dudu Duswara, anggota majelis hakim, mengungkapkan bahwa dengan pemberian sejumlah uang dari rekanan itu, Bulyan menjanjikan akan keluarnya anggaran untuk pengadaan kapal patroli di Departemen Perhubungan tersebut. ''Sebagai anggota DPR dan mitra kerja pemerintah, yang bersangkutan punya andil besar dalam keluarnya anggaran," jelasnya.
Bulyan, lanjutnya, juga dinilai aktif mendapatkan dana dari rekanan itu. Salah satunya dengan mengundang rekanan pengadaan kapal dalam berbagai pertemuan. Kepada mereka, Bulyan meminta setoran Rp 250 juta dari tiap paket proyek. Dia juga mendesak rekanan menyetorkan fee 8 persen dari nilai pagu anggaran senilai Rp 125 miliar. Belakangan, setelah terjadi tawar-menawar, kesepakatan fee turun menjadi 7 persen.
Dari pembicaraan itu, setidaknya, Bulyan mendapatkan uang dari para pengusaha, antara lain, Direktur PT Bina Mina Karya Perkasa Dedy Suwarsono (Rp 1,68 miliar), Dwi Aningsih dan Suratno Ramli dari PT Fibrite Fiberglass (Rp 500 juta), Kresna Santosa dari PT Pruskuneo Kadarusman (Rp 500 juta), Candra dari PT Sarana Fiberindo Marina (Rp 250 juta), dan Hosea Liminta dari PT Caputra Mitra Sejati (Rp 500 juta).
Menanggapi vonis itu, Bulyan menyatakan masih pikir-pikir. "Saya gunakan waktu tujuh hari ini untuk pikir-pikir dulu yang mulia," ujarnya.
Kuasa hukum Bulyan, Sapriyanto Reva, menganggap isi pertimbangan hukum yang dijatuhkan hakim sangat tidak beralasan. "Saya kira klien kami tidak terbukti menggerakkan seperti yang disebut hakim," jelasnya.
Bukan hanya itu. Kuasa hukum juga menyebutkan, negara sama sekali tidak dirugikan dalam perbuatan korupsi Bulyan. Karena itu, Sapriyanto merasa keberatan apabila permohonan pembukaan rekening yang diblokir ternyata tak dikabulkan. "Rekening itu tidak ada kaitannya dengan korupsi ini. Rekening itu digunakan untuk menampung gaji klien saya sebagai anggota DPR," ungkapnya. (git/agm)
Sumber: Jawa Pos, 19 Maret 2009
---------------------
Enam Tahun Penjara untuk Bulyan
Kemungkinan besar akan banding.
Anggota Komisi Perhubungan Dewan Perwakilan Rakyat, Bulyan Royan, dijatuhi hukuman enam tahun penjara. "Terdakwa telah meminta uang dari perusahaan rekanan dengan janji akan membantu memperlancar keluarnya anggaran," ujar hakim Sutiyono saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin.
Kasus ini terbongkar setelah pada 30 Juni 2008 Bulyan tertangkap basah oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di Plaza Senayan, Jakarta. Ia ditangkap setelah mengambil uang senilai US$ 66 ribu dan 5.500 euro dari tempat penukaran uang PT Tetra Dua Sisi.
Dari penyelidikan selanjutnya, diketahui uang itu merupakan pemberian dari Direktur PT Binamina Karya Perkasa Dedy Suwarsono, salah satu rekanan di Departemen Perhubungan. Pemberian ini terkait dengan proyek pengadaan kapal patroli kelas III tipe FRP dengan panjang 28,5 meter oleh departemen tersebut.
Belakangan terungkap pula bahwa setiap calon rekanan diminta Bulyan membayar dana operasional senilai Rp 250 juta per paket. Hakim menjelaskan, permintaan uang awalnya dilakukan di Hotel Crowne sebelum tender ditetapkan.
Dalam pertemuan pada 2007 itu hadir lima calon rekanan. Ada pula dua pejabat Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Departemen Perhubungan, yakni Tansea Parlindungan Malau dan Joni Algamar. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
"Kelima calon akhirnya ditetapkan sebagai pemenang tender setelah menyerahkan uang," ujar hakim Sutiyono. Mereka yang menyerahkan uang adalah Direktur PT Firtrite Fiberglass Suratno Ramli (Rp 500 juta), Direktur PT Pruskoneo Kadarusman Kresna Santosa (Rp 500 juta), Direktur Sarana Fiberindo Chandra (Rp 250 juta), pegawai PT Caputra Mitra Hosea Liminta (Rp 500 juta), dan Direktur PT Binamina Karya Perkasa Dedy Suwarsono (Rp 250 juta).
Total uang yang diserahkan Rp 2 miliar. Namun, dari kelima rekanan, hanya Dedy Suwarsono yang diajukan ke persidangan dan dihukum 4 tahun penjara.
Pada Juni 2008 Bulyan kembali meminta uang 8 persen dari pagu anggaran masing-masing rekanan. Anggaran yang telah ditetapkan adalah Rp 120 miliar untuk pengadaan 20 unit kapal. "Bulyan meminta agar uang itu dikirim ke rekening PT Tetra Dua Sisi," ujar hakim.
Selain dipidana, Bulyan didenda senilai Rp 350 juta subsider 6 bulan penjara. Dia juga harus membayar uang pengganti senilai Rp 2 miliar, dikurangi uang yang telah dikembalikan Bulyan senilai US$ 80 ribu. "Kami pikir-pikir atas putusan ini," ujar jaksa Nur Chusniah.
Bulyan pun menyatakan pikir-pikir. Pria yang sempat bercanda dengan wartawan sebelum memasuki ruang sidang ini menolak memberikan tanggapan lebih lanjut atas putusan hakim. "Saya serahkan kepada kuasa hukum," ujarnya seusai sidang.
Kuasa hukum Bulyan, Sapriyanto Reva, menyatakan kemungkinan besar kliennya akan banding. "Hakim tidak membuktikan salah satu unsur, bahwa dana tersebut digunakan untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu dalam jabatannya." FAMEGA SYAVIRA
Sumber: Koran Tempo, 19 Maret 2009