Dituntut 6 Tahun, Rokhmin Emosi
Rokhmin Dahuri mengernyitkan dahi ketika mendengar tuntutan jaksa penuntut umum KPK kemarin. Mantan menteri kelautan dan perikanan itu kecewa atas tuntutan pidana enam tahun dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan.
Sesaat setelah tuntutan dibacakan, terdakwa dugaan korupsi pengumpulan dana ilegal di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) itu langsung bersedekap dan melirik ke arah penasihat hukumnya sambil menggeleng. Penolakan Rokhmin juga ditunjukkan dengan mengempaskan ke lantai berkas tuntutan setebal lebih dari 500 halaman yang diberikan JPU.
Tak hanya Rokhmin yang emosi, istrinya Pigoselpi Anas juga terlihat menangis di bangku depan pengunjung sidang yang digelar Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Pengunjung sidang yang kebanyakan ibu-ibu nelayan tampak menangis sesenggukan. Setelah dijelaskan pengacara Rokhmin, Assegaf, bahwa itu baru tuntutan, tangisan para ibu yang datang dari Cirebon tersebut berhenti.
Dalam pembacaan tuntutan, JPU meminta majelis hakim yang dipimpin Mansyurdin Chaniago menyatakan Rokhmin bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan kesatu dan dakwaan kedua, yakni pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 kesatu jo pasal 65 ayat 1 KUHP (UU Antikorupsi). Sehubungan dengan bentuk dakwaan adalah kombinasi, sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan dan didukung dengan cukup alat bukti, kami akan langsung membuktikan dakwaan kesatu kedua, ujar JPU Suwarji. Dakwaan tak terpenuhi, katanya, adalah dakwaan primer pasal 12 e UU Antikorupsi.
Dalam dakwaannya, kata jaksa, Rokhmin terbukti menyampaikan permintaan kepada pejabat eselon I di lingkungan DKP untuk mengumpulkan dana penunjang kegiatan departemen yang tidak dianggarkan dalam APBN dalam rapat pimpinan 20 Februari 2002 di Kantor Menteri Kelautan dan Perikanan. Terdakwa telah mengetahui adanya beberapa kali penerimaan uang dari para pejabat eselon I, eselon II, dan para kepala Dinas Kelautan dan Perikanan seluruh Indonesia, ujar Suwarji.
Dia menambahkan, setidaknya dikumpulkan uang Rp 11,395 miliar dari 42 penyetor. Uang tersebut diterima mantan Sekjen DKP Andin H. Taryoto selaku koordinator pengumpulan dana. Secara berkala, dua bulan sekali Andin melaporkan penerimaan dana ke Rokhmin. Antara terdakwa dan Andin H. Taryoto terdapat adanya kerja sama yang erat dan diinsyafi baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan melakukan tindak pidana, tutur Suwarji.
Fakta persidangan yang mengungkapkan Rokhmin sebagai inisiator dan mengetahui adanya penerimaan dana dari para pejabat internal DKP, lanjut Suwarji, sudah memenuhi unsur gabungan dari beberapa perbuatan. Masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri. Maka, unsur gabungan dalam pasal 65 ayat 1 KUHP telah terpenuhi dan dapat dibuktikan, katanya. Karena itulah, meski hukuman maksimal dalam 11 UU Antikorupsi itu 5 tahun, JPU berani mematok hukuman enam tahun pidana dengan alasan gabungan dari peristiwa.
Tak ada alasan pemaaf yang melepaskan Rokhmin dari pertanggungjawaban pidana. Sebab, pria asal Cirebon itu terbukti menggunakan uang tersebut untuk kepentingan sendiri. Caranya, dia mendisposisi permintaan uang kepada Andin dan memerintah stafnya, Didi Sadili, memintakan penggantian uang yang telah digunakan terlebih dahulu oleh terdakwa kepada Sekjen DKP.
Itu baru satu dakwaan. Dalam dakwaan kedua, yakni pasal 11 UU Antikorupsi, Rokhmin terbukti menerima hadiah berupa uang berbentuk rupiah, USD 5.000, SGD 400 ribu, dan sebuah mobil Camry dalam kapasitasnya sebagai menteri pada kurun waktu 2002-2004. Terungkap bahwa perbuatan terdakwa dilakukan secara sadar dan segala akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut diketahui dan dikehendaki, tambah Suwarji.
Bagaimana tanggapan Rokhmin? Saya bisa mengerti secara bahasa. Tapi, aneh aja. Dalam pasal 11 hukuman maksimal lima tahun, saya dituntut enam tahun, kata Rokhmin dalam persidangan.
Didampingi istri dan anak bungsunya, Rahmania Kannesia, Rokhmin mengadakan konferensi pers di depan ruang terdakwa. Ini belum akhir dari perjalanan. Saya tetap optimistis, majelis hakim dan KPK masih punya rasa keadilan, ujarnya.
Guru besar ilmu kelautan IPB itu pun tetap bersikukuh tak melakukan korupsi sesuai dakwaan JPU. Tidak ada kerugian negara. Penggunaannya pun jelas. Kalau mau korupsi, uangnya sudah dibawa Pak Andin dan saya. Kaya mendadak, tambahnya.
M. Assegaf, penasihat hukum Rokhmin, berdalih bahwa kalaupun salah, tindakan Rokhmin termasuk dalam pelanggaran administrasi, bukan korupsi. Menurut dia, tak hanya di DKP, hampir semua departemen melakukan hal yang sama. Kalau bukunya (catatan pengeluaran DKP, Red) tak muncul, tak ada perkara ini. Departemen lain mungkin lebih hati-hati, ujarnya. (ein)
Sumber: Jawa Pos, 28 Juni 2007