Dosis Tinggi PPATK
Dalam kasus transaksi rekening mencurigakan, Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keungan adalah contoh “penonton” baik. Walaupun gemas disisi lapangan, namun mereka tidak bisa apa-apa. Karena penonton tak punya kuasa menendang bola.
Sebagai sebuah institusi strategis, PPATK bernasib malang. Punya kemampuan namun tidak diberikan kewenangan. Konsekuesinya, lembaga ini tak ubahnya hanya menjalankan fungsi administratur saja. Mulai dari mengumpulkan, menyimpan, menganalisis hingga mengevaluasi setiap transaksi keuangan. Efek kecilnya kewenangan ini, transaksi keuangan dengan karakter mencurigakan pun tidak bisa mereka apa-apakan. Hanya bernilai angka-angka tanpa makna ditangan lembaga ini.
Prolem krusial terdapat dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Kendala legislasi tersebut mengakibatkan tidak maksimalnya pendekatan anti pencucian uang dalam mendukung dam membantu upaya penegakan hukum atas tindak pidana asal (predicate crime) seperti tindak pidana korupsi, penyuapan, narkotika dan psikotropika hingga pada tindak pidana ekonomi semisal kejahatan perbankan.
Dalam konteks yang lebih luas pun, Indonesia belum mengadopsi rekomendasi FATF Revised 40+9 Recs (Financial Action Task Force on Money Laundering Revised 40 Recommendations and 9 special Recommendations). Hingga akhirnya pada sidang Pleno FATF, Abu Dhabi. Menempatkan Indonesia bersama 19 negara / yurisdiksi lain dalam kelompok yang memiliki kelemahan strategic. Yakni kelemahanyang salah satunya berkaitan dengan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang.
Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang pada prinsipnya diarahkan untuk memberikan “asupan gizi” baru kepada PPATK. Walau diawal penguatan ini mendapat tantangan berat dari beberapa oknum polikus Senayan, namun sedikit titik cerah mulai tampak tatkala anggota Panitian Kerja RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang secara prinsip menyepakati kewenangan PPATK diperkuat (kompas,20/7)
Meskipun sudah ada ikrar kesepakatan bersama, dititik ini sebenarnya publik harus membangun kewaspadaan lebih, apakah penguatan PPATK benar-benar pada organ semestinya. Atau jangan-jangan hanya pada bagian-bagian yang tidak signifikan,sehingga upaya “penguatan” ini hanya menjadi kamuflase belaka.
Sinyalemen ini sebenarnya sudah tampak, ketika pasal tentang penyelidikan “tumbang” dan disepakati untuk diganti dengan pemerikasaan non projustitia. Padahal, salah satu musabab tidak maksimalnya pemanfaatan laporan PPATK, karena insitusi ini dalam melakukan analisisnya hanya terbatas pada laporan diatas kertas. Sehingga tidak dapat membuat terangnya suatu peristiwa dan kondisi yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan mereka (PPATK) tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pihak terkait guna mendapatkan bukti materil.
Jika PPATK diberikan kewenangan penyelidikan tersebut, maka niscaya, laporannya akan lebih matang dan berdayaguna. Hal ini juga sembari menjawab permasalahan terkait dugaan “rekening gendut” oknum Jenderal di kepolisian yang marak belakangan ini. Kenyataan yang terjadi hari ini, publik sangat sulit untuk percaya kepada hasil pemeriksaan “tunggal” di internal kepolisian perihal rekening gendut tersebut. Jika PPATK diberikan kewenangan penyelidikan (Preliminary investigation), maka PPATK akan masuk pada fase mencari bukti permulaan yang cukup tentang terjadinya tindak pidana pencucian uang dengan karakter transaksi yang mencurigakan atas rekening para Jenderal . Intinya, kepolisian tidak bekerja secara sendiri untuk “membersihkan” diri sendiri.
Dosis Tinggi
Secara yuridis, PPATK sudah didorong untuk kuat dalam RUU Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut. Ada beberapa dosis tinggi yang sengaja disuntikkan untuk menguatkan institusi ini. Harus dipahami, bahwa penguatan ini bukalah minus tujuan. Karena diyakini akan menjadi bagian penting dalam upaya pemberantasan mafia hukum di negeri ini.
Dilain sisi, penguatan PPATK dalam RUU Tindak Pidana Pencucian Uang, sejatinya akan menjadi barometer keseriusan Pemerintah dan DPR dalam rangka memberangus praktek pencucian uang. Walaupun sudah diputuskan dalam rapat sebelumnya, belum terlambat untuk kembali merealisasikan kewenangan penyelidikan PPATK terhadap dugaan tindak pidana pencucian uang.
Selain itu, kewenangan pemblokiran juga harus mendapatkan perhatian serius untuk dapat diterapkan. Karena dalam UU yang berlaku saat ini, masih memungkinkan terjadinya pengalihan dana yang diduga berasal dari tindak pidana ketika Penyedia Jasa Keuangan menemukan adanya transaksi keuangan dan melaporkannya kepada PPATK. Celakanya Proses ini menimbulkan jeda dan lobang untuk menyelinap kepada pihak yang menguasai dana untuk mengalihkan harta kekayaannya. Pemblokiran merupakan bagian dari bangunan sistem peringatan dini (early warning system) terhadap transaksi yang mencurigakan tersebut.
Langkah ini diyakini akan bermuara pada pengembalian aset hasil kejahatan (asset recovery) . Fakta yang terjadi, seringkali penegak hukum gagal menyelamatkan kerugian negara (dalam kasus korupsi). Karena aset terlanjur dialihkan dengan berbagai cara, sehingga mengaburkan transaksi. Ujung-ujungnya, usaha besar yang dilakukan tidak sebanding dengan uang negara yang dikembalikan.
Sebagai pelengkap, PPATK juga akan terbantu dengan diperluasnya pihak pelapor yang wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan. Dari yang sebelumnya hanya Penyedia Jasa Keuangan, sekarang sudah meliputi Penyedia Barang/ Jasa hingga pada Profesi tertentu seperti Advokat dan Notaris.
Karena fakta di lapangan menunjukkan, pelaku kejahatan pencucian uang sangat lihai dalam mencari celah untuk menyembunyikan dan menyamarkan hasil tindak pidana. Antara lain, dengan menggunakan rekening para lawyer, akuntan dan notaris.
Agar PPATK tidak menjadi penonton abadi, karena hanya bisa menyaksikan transaksi liar, lalu-lalang didepan mata mereka. Maka mutlak lembaga ini harus dikuatkan. Mereka harus diberi dosis tinggi, asalkan tidak overdosis
Donal Fariz, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Baca lebih lanjut tulisan ini dalam format image (*.jpeg) disini...