DPR Beri Ruang bagi Polri untuk Serang Balik KPK

RAPAT kerja komisi III dengan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri Kamis malam (5/11) hingga Jumat dini hari (6/11) terus menuai kritik. Rapat itu dinilai tidak memperjelas masalah tapi justru memperunyam masalah. Anggota Tim Delapan Anies Baswedan melihat kejanggalan dalam forum rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Polri yang disiarkan langsung oleh sebuah stasiun televisi itu.

"Dari dinamika yang terjadi dalam forum, DPR justru seperti menunjukkan dirinya sebagai public relation (PR) atau humas bagi Polri," kata Anies Baswedan, anggota Tim Pencari Fakta (TPF).

Menurut Anies, ada perlakuan yang tidak seimbang dari komisi III kepada Polri dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diundang sebelumnya. Ketika pimpinan KPK diundang, forum berlangsung tertutup, sedangkan forum dengan Polri dibiarkan terbuka.

"Ketika KPK kemarin tidak ada keterbukaan bagi media. Tapi ketika RDP dengan Polri itu, ada keterbukaan. Kalau ini fungsinya untuk PR, itu bisa memperkeruh masalah," jelas Anies.

Menurut rektor Universitas Paramadina itu, forum tersebut juga tak ubahnya seperti pengadilan yang tak menghadirkan pihak lain. Hasil-hasil penyidikan dipaparkan terbuka layaknya di sebuah pengadilan.

Tak bisa disalahkan juga, lanjut Anies, Polri menilai pemutaran rekaman di Mahkamah Konstitusi (MK) berperan sama. "Kita (tim) itu diharapkan justru bisa menahan diri. Kalau makin hari makin berusaha untuk saling memojokkan, saya khawatir ujung-ujungnya mencapai suatu yang tidak baik. Itu menjadi kekhawatiran saya," katanya.

Kritik juga datang dari kalangan LSM. "Bukannya makin memperjelas solusi terhadap masalah yang ada, tapi malah tambah runyam," kata Ketua Setara Institute Hendardi.

"DPR sebaiknya duduk manis mendengar dan mengawasi. Jangan kemudian terkesan di publik malah menjadi pembela koruptor dan sibuk dengan puja-puji," tambahnya.

Masyarakat, kata dia, menunggu tindakan politik dan segera dari presiden melalui percepatan proses hukum, akan ke mana kasus itu, dihentikan atau dilanjutkan. "Presiden tidak perlu lagi menjadi tameng. Keterlambatan presiden akan membuat persoalan menjadi amburadul dan berlarut-larut," tuturnya.

Kesan sikap lunak bahkan ''dukungan'' dari DPR bisa dilihat dari sekian tepuk tangan yang dilakukan anggota komisi III saat rapat. Tepukan kali pertama dilakukan saat Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri memperkenalkan Komjen Pol Susno Duadji yang kebetulan duduk di sebelahnya.

"Soal tepukan tangan itu, nggak tahu lah siapa yang mulai. Terjadi begitu saja," ujar Wakil Ketua Komisi III dari FPKS Fachry Hamzah di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin. Dia menolak bahwa DPR telah berat sebelah dalam persoalan KPK-Polri yang sedang panas.

Fachry juga tak sependapat dengan anggapan bahwa ketika rapat dengar pendapat dengan Kapolri, para anggota bersikap lunak. Berbeda dengan saat RDP di hari sebelumnya dengan KPK. "Tidak benar, RDP bukanlah panggung serangan balik Polri kepada KPK," kelitnya.

Meski demikian, dia menyatakan tak bisa berbuat banyak ketika ada yang menilai bahwa DPR hanya ingin memberikan ruang bagi Polri untuk menyerang balik KPK. "Kalaupun panggung memang kenapa? Siapa yang melarang? DPR kan rumah rakyat. Silakan saja mau dibilang semalam mirip dagelan atau apa. Toh, ini juga untuk ditonton rakyat, kok," tegasnya.

Dia meminta persoalan RDP dengan Polri tidak perlu dibesar-besarkan. Sebab, menurut Fachri, masih banyak masalah yang lebih butuh mendapat perhatian. "Sudahlah, kalau dibahas jadi tidak ilmiah. Ngapain sih kita ribut-ribut soal sensasi, lebih baik tetap mementingkan substansi?" tandasnya. (noe/rdl/dyn/iro)

Sumber: Jawa Pos, 7 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan