DPR Bidik Pengambil Kebijakan Bail Out ke Bank Century
Bola panas kasus PT Bank Century Tbk sepertinya terus bergulir. Kali ini giliran DPR yang menyikapi kasus tersebut setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan tak ada unsur pidana dalam pengucuran dana talangan (bail out) ke Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Saat ini DPR membidik aspek pengambilan kebijakan pengucuran dana tersebut.
Ketua Komisi XI (bidang keuangan) DPR Emir Moeis mengatakan, jika memang benar bahwa dalam pengucuran dana tersebut tidak ada unsur pidana, pihaknya tetap meminta pertanggungjawaban para pengambil keputusan yang akhirnya membuat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengucurkan bail out ke Bank Century.
''Seandainya saja, sekali lagi, seandainya saja pernyataan Kejagung benar bahwa bail out itu tidak ada unsur pidana, kami akan tetap melihat dari sisi pengambilan kebijakan. Bisa saja tidak ada korupsi di situ, tetapi kebijakannya yang salah,'' ujarnya saat dihubungi Jawa Pos tadi malam (25/10).
DPR, khususnya Komisi XI, amat berkepentingan dengan penuntasan kasus bank yang kini berganti nama menjadi Bank Mutiara itu. Pasalnya, DPR telah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi terhadap Bank Century. ''Dewan ini kan lebih terkait unsur politis. Jadi, setiap petunjuk yang ada akan kami telusuri sampai tuntas,'' katanya.
Dalam kasus Bank Century, keputusan yang menetapkan sebagai bank gagal dan punya potensi berdampak sistemik sehingga harus diselamatkan lewat LPS berasal dari Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dan Komite Koordinasi (KK) pada 21 November 2008. Saat itu komite diketuai Menkeu Sri Mulyani dengan anggota Boediono (saat itu gubernur BI) dan Rudjito (ketua Dewan Komisioner LPS).
Terkait landasan Kejagung yang menyebut pengucuran bail out tidak melanggar hukum, karena menggunakan payung hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), Emir menilainya janggal. ''Perppu itu kan sudah ditolak,'' tegasnya.
Dana bail out Century mulai dikucurkan LPS pada 23 November 2008 sebesar Rp 2,77 triliun. Lantas, kucuran berikutnya pada 5 Desember sebesar Rp 2,20 triliun. Setelah dua kali pengucuran tersebut, Komisi XI DPR menolak Perppu pada 18 Desember 2008 dan ditegaskan dalam sidang paripurna DPR pada 19 Desember 2008. Namun, LPS tetap mengucurkan dana bail out pada 3 Februari 2009 Rp 1,15 triliun dan pada 21 Juli 2009 Rp 630 miliar.
Emir menyebut, persoalan penolakan perppu dan pengucuran dana bail out memang masih debatable (bisa diperdebatkan). Karena itulah, DPR akan menunggu sampai audit BPK benar-benar selesai. ''Setelah itu, baru kami menetapkan langkah selanjutnya. Kejagung pun seharusnya jangan tergesa-gesa memutuskan. Sebab, keputusan yang ada saat ini saya kira sangat prematur,'' ujarnya.
Wakil Ketua DPR Anis Matta mengkritik Kejagung yang menyatakan tidak ada perbuatan melawan hukum dalam pengucuran dana ke Bank Century. Menurut dia, Kejagung seharusnya menunggu sampai BPK menuntaskan audit investigasi yang tengah dikerjakan. ''Penjelasan kejaksaan itu tidak tepat waktu,'' kata Anis.
Dia mengingatkan bahwa Komisi XI DPR periode 2004-2009 telah membuat rekomendasi agar BPK melakukan audit investigasi. Sampai saat ini BPK masih bekerja. Karena itu, Anis meminta BPK tidak terpengaruh dengan pernyataan Kejagung.
''BPK terus jalan saja sampai ada hasil dari investigasinya. Indikasi tentang ada tidaknya unsur pelanggaran pidana justru menjadi bagian dari rekomendasi BPK,'' tegas Sekjen DPP PKS itu.
Secara terpisah, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy menolak berkomentar panjang tentang posisi Perppu No 4 Tahun 2008 yang sudah ditolak DPR. Sebelumnya Marwan mengatakan, salah satu alasan penetapan tidak adanya perbuatan melawan hukum dalam bailout Bank Century adalah penggunaan perppu tersebut. ''Tanya DPR saja kalau soal ditolak,'' kata Marwan kepada Jawa Pos kemarin.
Menurut dia, penolakan itu tidak berlaku surut. ''Kan tak bisa berlaku surut kalau sudah ditetapkan,'' tutur mantan Kapusdiklat Kejagung itu.
Lantas, bagaimana pengucuran ketiga dan keempat yang dilakukan setelah penolakan perppu? Marwan menegaskan, pengucuran itu tetap menjadi bagian dari pengucuran secara keseluruhan. ''Itu satu paket,'' katanya.
Namun, Marwan juga menggarisbawahi bahwa penetapan itu juga masih merupakan perkembangan penyidikan dan belum final. ''Ini kajian sementara dari tim jaksa,'' ujar mantan Kajati Jatim itu.
Sebagai tindak lanjut dari proses penyidikan, saat ini tim penyidik Kejagung fokus pada penggunaan dana. Di situ Kejagung telah menetapkan dua tersangka yang kini berstatus buron. Mereka adalah Hesyam Al Waraq (wakil komisaris utama) dan Rafat Ali Rizvi (pemegang saham mayoritas/pengendali). (owi/fal/pri/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 26 Oktober 2009