DPR dan Akuntabilitas Publik
Badan Kehormatan DPR akhirnya menjatuhkan sanksi pemberhentian sebagai anggota Dewan kepada KH Aziddin (Fraksi Partai Demokrat), yang dinilai telah melanggar etika DPR.
Hukuman lebih ringan, berupa teguran tertulis, dijatuhkan bagi 17 anggota DPR lainnya yang melakukan pelanggaran dengan tingkat kesalahan berbeda-beda. Apakah DPR akan lebih baik?
Keputusan Badan Kehormatan (BK) DPR yang diumumkan dalam Rapat Paripurna DPR itu patut mendapat apresiasi. Umum tahu, sebagian anggota DPR tidak disiplin. Tingkat kehadiran yang rendah dalam persidangan, aktivitas tidur, baca koran, atau bertelepon ria saat rapat, hampir menjadi pemandangan umum yang disodorkan media. Juga disinyalir sejumlah anggota Dewan menjadi calo, menghubungkan pejabat daerah dengan pejabat pusat, atau pejabat pusat dengan Panitia Anggaran DPR.
Karena itu, sanksi yang dijatuhkan BK bukan hanya untuk memberi efek jera bagi anggota DPR, tetapi juga dalam rangka pembelajaran agar wakil rakyat lebih bertanggung jawab. Setiap anggota DPR harus menyadari risiko pilihannya menjadi wakil rakyat, yakni setiap saat dituntut bertanggung jawab kepada publik. Pembelajaran tanggung jawab jelas amat penting mengingat kecenderungan kolektif bangsa kita untuk hanya merebut dan mempertahankan jabatan, tetapi ironisnya cenderung lupa bahkan menghindar dari tanggung jawab.
Bisa Bias
Sayang, aspek akuntabilitas publik itulah yang justru tidak dituntaskan pimpinan DPR ketika mengumumkan hasil kerja BK dalam Rapat Paripurna. Ketua DPR hanya mengumumkan nama Aziddin sebagai penerima sanksi terberat, tetapi tidak mengumumkan identitas ke-17 anggota DPR lainnya yang mendapat sanksi teguran tertulis. Padahal, efek jera yang diharapkan tidak akan berhasil jika masyarakat tidak tahu siapa yang sebenarnya telah melalaikan mandatnya sebagai wakil rakyat. Konsekuensinya, tanggung jawab publik anggota DPR yang diharapkan menjadi lebih baik mungkin tidak terjadi.
Selain itu, keputusan pimpinan DPR untuk merahasiakan ke-17 anggota DPR lainnya jelas tidak adil bagi Partai Demokrat karena seolah anggota DPR dari partai atau fraksi lain tidak bermasalah. Apalagi penilaian terhadap tingkat pelanggaran bisa bias jika struktur keanggotaan BK hanya terdiri atas unsur DPR tanpa keterlibatan publik di dalamnya. Mungkin di sinilah urgensi reformasi struktur BK melalui penambahan unsur luar atau masyarakat yang bersifat nonpartisan dalam struktur keanggotaan BK, agar bias terhindarkan dan tak ada yang perlu disembunyikan dalam menilai kinerja setiap anggota Dewan.
Keberadaan unsur masyarakat dalam struktur BK sebenarnya telah diakomodasi dalam konteks Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yaitu melalui Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Sayang, PP itu secara tidak langsung dibatalkan oleh UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang membuang unsur masyarakat dalam struktur BK di DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Sebagai pemberi mandat, rakyat berhak tahu siapa saja di antara para wakilnya yang benar-benar bekerja, bermalas-malasan, dan siapa yang menyalahgunakan kedudukan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Dengan demikian, pada waktunya nanti rakyat yang akan memutuskan apakah anggota DPR yang melakukan pelanggaran itu masih layak dipilih kembali atau tidak. Karena itu, keputusan untuk merahasiakan identitas sebagian besar mereka yang mendapat sanksi patut disayangkan karena cenderung mengurangi bobot hasil kerja BK sendiri.
Akuntabilitas publik
Tugas utama BK DPR adalah menjaga dan menegakkan martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas Dewan. Meski demikian, tugas itu sebenarnya belum selesai dengan penyampaian hasil kerja dan rekomendasi pemberian sanksi bagi mereka yang melanggar kode etik, aturan-perundangan, tata tertib, dan sumpah jabatan sebagai anggota DPR. BK baru dapat dikatakan berhasil jika akuntabilitas publik DPR secara institusi dan anggota secara individual menjadi lebih baik.
Karena itu, dalam rangka akuntabilitas publik yang lebih baik, DPR perlu menata kembali mekanisme kerja keparlemenan di satu pihak, dan format penilaian serta struktur keanggotaan BK di lain pihak. Dalam konteks mekanisme kerja keparlemenan, perlu dipikirkan solusi atas perangkapan keanggotaan dalam panitia-panitia khusus (pansus). Seorang anggota DPR sering merangkap tiga atau empat keanggotaan pansus sekaligus sehingga potensi tidak hadir dalam rapat pansus yang waktunya bersamaan amat besar. Begitu pula sistem absensi yang masih tradisional sehingga sebagian penanda tangan daftar hadir hanya dilakukan oleh sekretaris sang anggota Dewan.
Terkait dengan format penilaian BK, perlu dipertajam klasifikasi pelanggaran dan atau kesalahan. Sebab, tidak jarang ada anggota Dewan yang sering tidak hadir secara fisik, tetapi cukup produktif secara ide. Sebaliknya, ada anggota DPR yang terus hadir dalam rapat-rapat Dewan secara fisik, tetapi miskin ide.
Sementara itu, urgensi unsur masyarakat yang bersifat nonpartisan dalam struktur keanggotaan BK berhubungan dengan hakikat DPR sebagai representasi rakyat. Pada dasarnya, konstituen pada tiap daerah pemilihanlah yang berhak memecat wakilnya sehingga BK harus mencerminkan suara rakyat.
Semoga perubahan perundang-undangan bidang politik yang akan diinisiatifi DPR untuk Pemilu 2009 makin meningkatkan kualitas akuntabilitas DPR.
Syamsuddin Haris Ahli Peneliti Utama Bidang Politik LIPI
Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 Agustus 2006