DPR dan KPK; Busyro: Pimpinan KPK Lima Orang
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menegaskan, pimpinan KPK berjumlah lima orang. Kapan pun bertemu Dewan Perwakilan Rakyat, kelima unsur pimpinan itu akan selalu ikut serta.
Namun, Busyro menolak mengomentari sikap Komisi III DPR yang menolak kehadiran Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah dalam rapat, Senin lalu. Politisi di Komisi III DPR beralasan, Bibit dan Chandra masih tetap berstatus tersangka karena kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dan upaya pemerasan yang disangkakan kepada mereka dikesampingkan jaksa (deponir).
”Kami akan datang berlima,” ungkap Busyro, Selasa (1/2) di Jakarta, saat ditanyai tentang rencananya untuk kembali menghadiri rapat dengan DPR.
Keputusan Komisi III bisa berubah
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy, Selasa di Jakarta, mengakui, keputusan Komisi III DPR yang menolak kehadiran Bibit dan Chandra dalam rapat kerja yang mereka gelar dapat saja berubah dalam Rapat Paripurna DPR. Komisi III juga akan melaporkan sikapnya itu kepada pimpinan DPR.
Senin sore, melalui pemungutan suara, Komisi III DPR memutuskan menolak kehadiran Bibit dan Chandra dalam rapat kerja yang mereka gelar. Keputusan ini diambil berdasarkan etika karena Bibit dan Chandra masih berstatus sebagai tersangka. Pendeponiran yang mereka terima tidak menghilangkan status tersangka.
Namun, sebagian kalangan melihat sikap Komisi III DPR itu sebagai ”balas dendam” terhadap langkah KPK yang menahan 19 anggota DPR periode 1999-2004 karena disangka terlibat kasus pemberian cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 (Kompas, 1/2).
Tjatur mengatakan, Komisi III DPR akan menggelar rapat internal hari Rabu ini. Ia mengakui, tak ada yang diuntungkan dalam kasus ini, kecuali mafia hukum.
Namun, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menyatakan, apa yang diputuskan Komisi III DPR adalah wewenang komisi itu. ”Dahulu juga ada menteri yang diminta pulang oleh komisi lain, juga tidak dipermasalahkan,” katanya. Namun, pimpinan Dewan tetap akan meminta penjelasan dari Komisi III terkait keputusan mereka itu.
Menurut Priyo, keputusan Komisi III itu belum tentu berlaku pada alat kelengkapan lain di DPR. Kehadiran Bibit dan Chandra belum tentu ditolak, misalnya oleh Tim Pengawas DPR untuk Penuntasan Kasus Bank Century.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan, penolakan terhadap Bibit dan Chandra belum dilakukan secara bulat. Masih ada fraksi yang tetap menerima Bibit-Chandra sebagai pemimpin KPK meski berstatus tersangka.
Pramono juga meminta agar penolakan Komisi III terhadap Bibit dan Chandra tidak diredusir sebagai upaya balas dendam dari politisi. Ia juga tidak melihat adanya upaya kriminalisasi KPK atau intervensi politik di balik penolakan Komisi III. DPR tetap mendukung penegakan hukum secara adil, tanpa tebang pilih.
Ketua DPR Marzuki Alie menambahkan, seharusnya semua anggota Komisi III DPR melihat konteks pemanggilan pimpinan KPK. Hal yang terpenting adalah keterangan dari KPK, bukan siapa yang memberikan keterangan.
Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Marwan Jakfar menilai sikap Komisi III itu tidak sopan. (FAJ/NTA/ATO/NWO)
Sumber: Kompas, 2 Februari 2011
---------------
KPK Berpegang pada Kepemimpinan Kolegial
"Sekarang DPR yang mengkriminalkan Bibit-Chandra.”
Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi kukuh berpegang pada asas kepemimpinan kolektif kolegial. Mereka berkeras akan menghadiri rapat kerja dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat secara lengkap. "Itu amanat undang-undang," kata Wakil Ketua KPK Haryono Umar kepada kemarin.
Menurut Haryono, keputusan KPK untuk tetap datang ke rapat kerja secara lengkap lima pemimpin bukan berarti tak menghormati keputusan Komisi Hukum DPR. Sebelumnya, Komisi Hukum menolak kehadiran Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. "Tak ada niat sedikit pun untuk tak menghormati DPR."
Ia menyatakan, model kepemimpinan di KPK diatur dalam Pasal 21 ayat 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Di situ disebutkan, pemimpin KPK bekerja secara kolektif. Makna kolektif berarti setiap keputusan harus disetujui dan diputuskan bersama oleh lima pemimpin. KPK kini dipimpin oleh Ketua Busyro Muqoddas dan empat wakil ketua, yakni M. Jasin, Haryono, Bibit, dan Chandra.
Busyro Muqoddas pun menyatakan lima pemimpin KPK tetap akan hadir dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum. "Kami berlima akan berangkat ke DPR," ujarnya di gedung KPK, Jakarta, kemarin. Kalau Komisi Hukum berkeras tak mau menerima Bibit-Chandra? "Mudah-mudahan tak ditolak.”
Rapat kerja Komisi Hukum dengan KPK pada Senin lalu mandek. Mayoritas anggota Komisi menolak kehadiran Bibit-Chandra, yang sudah duduk di hadapan mereka. Alasannya, Komisi Hukum menolak deponering perkara dugaan penyalahgunaan wewenang yang melilit keduanya, meski belakangan Jaksa Agung mendeponir kasus itu. Keduanya pun dianggap berstatus tersangka sehingga tak etis jika memimpin KPK. Komisi Hukum memutuskan bahwa, dalam rapat berikutnya, mereka dilarang hadir.
Wakil Ketua Komisi Hukum dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah, menolak sikap KPK. "Saya berharap pendekatan Busyro tak seperti itu," katanya. Ia ingin KPK memegang etika kepemimpinan.
Hal yang sama disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Hukum dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Tjatur Sapto Edy. Ia mengakui kehadiran Bibit-Chandra sepenuhnya hak KPK. Tapi ia meminta kearifan pimpinan KPK untuk mengikuti keputusan Komisi Hukum. "Kami juga punya hak dengan keputusan kami," ucap Tjatur, yang memimpin rapat kerja dengan KPK pada Senin lalu.
Namun Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mendukung sikap KPK. Menurut dia, pemimpin KPK harus tetap lima dalam menjalankan tugasnya. "Kami ikuti saja apa yang menjadi Ketua KPK. Ketua KPK bilang pimpinan KPK lima, " katanya di Kompleks Istana Kepresidenan kemarin. "Kalau ingin memberantas korupsi, kami ingin KPK utuh.”
Menurut Jaksa Agung Basrief Arief, setelah perkara Bibit-Chandra dideponir, penuntutan perkara dihentikan. "Semuanya dihapus, termasuk status tersangka," ucapnya di gedung KPK kemarin.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, menganggap Komisi Hukum tak konsisten. Dulu, mereka menilai terjadi kriminalisasi terhadap keduanya, lalu menuduh Kepala Polri dan Jaksa Agung merekayasa kasus. Kini, mereka menolak deponering dan menyerang Bibit-Chandra. "Sekarang DPR yang mengkriminalkan Bibit-Chandra,” ujarnya. SANDY IP | CORNILA D | HERU TRIYONO | EKO AW| MAHARDIKA SH| AMIRULLAH | JOBPIE S
Sumber: Koran Tempo, 2 Februari 2011