DPR Desak Depdiknas Umumkan Nilai Asli Siswa; Alokasi anggaran UAN Tahun Depan senilai Rp 259,9 mili

Komisi Pendidikan DPR mendesak pemerintah segera menerbitkan nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) siswa SMU sebelum dikonversi. Jika tak segera dilakukan, dikhawatirkan keresahan masyarakat akan makin meluas. Jangan sampai peserta didik dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang salah, kata Wakil Ketua Komisi Pendidikan, Anwar Arifin dalam konferensi pers di kantor Indonesia Corruption Watch kemarin.

Komisi Pendidikan sendiri, menurut Anwar, sudah mengundang Menteri Pendidikan Nasional untuk menghadiri rapat kerja di parlemen. Sebelumnya, selain menyetop alokasi dana untuk penyelenggaraan UAN tahun depan senilai Rp 259,9 miliar, parlemen juga telah membentuk dua panitia kerja yang akan membahas khusus masalah pendidikan dasar menengah dan pendidikan tinggi. Suka tidak suka, mau tidak mau, Depdiknas harus menghentikan program UAN, kata Anwar.

Koordinator Koalisi Pendidikan Suparman dalam jumpa pers kemarin mendukung sikap DPR yang menolak kelanjutan pelaksanaan UAN. Dari temuan kami, UAN lebih banyak merugikan siswa, katanya. Dari survei pelaksanaan UAN di 15 kota kabupaten di Indonesia, yang digelar koalisi ini, ditemukan banyak sekolah tidak siap dengan sarana pendukung ujian. Untuk ujian bahasa Inggris misalnya, fasilitas laboratorium bahasa banyak yang tidak memadai, kata Suparman. Selain itu, tak sedikit guru yang membiarkan siswanya menyontek selama ujian agar bisa lulus UAN dengan nilai memadai.

Kemarin, Komisi Pendidikan DPR juga menggelar rapat tertutup dengan Sekjen Depdiknas Baedhowi dan sejumlah direktur jenderal serta Sekjen Departemen Agama Faisal Ismail. Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi Pendidikan, Taufiqurrahman Saleh, disepakati pengalihan dana penyelenggaraan UAN tahun depan menjadi dana untuk peningkatan kualitas, kompetensi, dan kuantitas guru, serta tingkat kesejahteraan mereka. Logika parlemen dan pemerintah, kata Anwar, jika kesejahteraan dan kualitas guru ditingkatkan, maka konsentrasi mengajar dan mendidiknya juga akan membaik.

Namun, peningkatan kualitas guru ini tidak akan dilakukan dengan program penataran yang memakan banyak biaya, kata Anwar. Program ini, katanya, akan dimulai dengan pendataan guru-guru yang perlu mendapat pendidikan lebih lanjut. Selanjutnya, mereka akan dikuliahkan di Universitas Indonesia atau di IKIP. Ini jauh lebih murah dan efektif, kata Anwar yang juga mengajar di Universitas Hasanuddin, Makassar, ini.

Program peningkatan kesejahteraan guru pun tidak akan dilakukan dengan menaikkan gaji guru, melainkan dengan mengurangi beban pengeluaran para pendidik. Yang kami usulkan adalah program beasiswa untuk putra-putri guru sampai jenjang pendidikan tinggi, katanya.

Sementara itu, Taufiqurrahman Saleh kembali menegaskan bahwa sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penilaian prestasi siswa. Kewajiban pemerintah, kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini, hanya membuat kebijakan dan standar pendidikan nasional serta mengevaluasi pelaksanaan sistem pendidikan itu. Jadi yang mengevaluasi peserta didik adalah pendidik sendiri. Bukan pemerintah, katanya. Yang dievaluasi pemerintah misalnya ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, kompetensi guru, dan fasilitas penunjang pendidikan.

Di tempat terpisah, Depdiknas kemarin juga menggelar konferensi pers khusus untuk menjelaskan sistem penilaian UAN dengan tabel konversi. Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas Bahrul Hayat kembali menjelaskan bahwa konversi hasil UAN hanya bertujuan menyetarakan nilai siswa secara nasional dari paket-paket soal yang berbeda-beda tingkat kesulitannya.

Ia menegaskan, sistem konversi justru lebih adil bagi siswa karena memperhitungkan tingkat kesulitan soal di tiap provinsi. Bachrul menjelaskan, dalam UAN, pemerintah membuat 30 paket soal dengan tingkat kesulitan berbeda-beda. Bachrul juga menilai pelaksanaan UAN sangat penting untuk menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan pengendalian mutu pendidikan di tingkat sekolah, daerah dan nasional. Karena itulah, hasil UAN harus dapat dibandingkan secara linier, sehingga diperlukan skala baku yang bersifat nasional, katanya. wahyu dhyatmika/ecep s.yasa/rina rachmawati

Sumber: Koran Tempo, 18 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan