DPR Desak KPK Usut Syahrial
Komisi III DPR mendesak KPK tidak hanya terfokus pada pemeriksaan mantan hakim Syarifuddin Umar terkait dugaan penerimaan suap dalam proses kepailitan perusahaan garmen PT Skycamping Indonesia (SCI).
Pihak-pihak lain seperti kolega dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Syahrial Sidik juga harus dimintai keterangan terkait dugaan suap tersebut. Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy menilai,rangkaian mafia hukum di lembaga peradilan sudah sangat mengakar kuat.
Karena itu, sangat mungkin adanya keterlibatan pihak lain seperti Ketua PN Jakpus Syahrial Sidik. “KPK harus memeriksa semua pihak yang terlibat, termasuk ketua pengadilan kalau memang diperlukan,” tegas Tjatur Sapto Edy di Jakarta kemarin. Tjatur juga meminta KPK agar lebih meningkatkan kemampuannya dalam mengungkap praktik-praktik suap yang disinyalir marak terjadi di lembaga penegak hukum.
“Itu butuh kerja yang tidak mudah. KPK bisa menganalisis kebijakan. Harus ada peningkatan kualitas sumber daya manusia di KPK,”tandasnya. Senada diungkapkan Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin. Menurut dia,KPK harus secepatnya mengusut pihakpihakyang didugaterlibatdalam kasus penerimaan suap mantan hakimSyarifuddin.
“Saya selaku anggota DPR minta KPK bisa mengungkap kalau ada indikasi keterlibatan pihak lain. Pengawasan hakim harus lebih diperketat agar tidak sampai terulang kembali seperti hal yang sangat memalukan dan mencederai keadilan,”tegasnya. Menurut politikus Partai Golkar ini, remunerasi yang sudah diberikan kepada lembaga peradilan tidak menjadi jaminan meningkatnya kinerja dan integritas hakim dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Sebab, kunci yang sebenarnya adalah integritas dan moral hakim. “Gajinya selangit, tetapi kalau moralnya rendah, tetap gampang disuap,”tegasnya. Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari juga meminta ketegasan KPK untuk memeriksa Ketua PN Jakpus Syahrial Sidik terkait kasus Syarifuddin.
“ Ketua pengadilan harus diperiksa. Dari keterangan dia nanti akan banyak berkembang informasi baru soal jaringan mafia hukum yang ada di lembaga peradilan,” tegas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini. Eva juga berharap agar Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dapat mengambil peranan dalam pemberantasan mafia hukum di lembaga peradilan.
Lembaga hukum, ujar Eva, adalah institusi paling vital dalam penegakan hukum terutama bagi pencari keadilan. Jangan sampai proses hukum yang berjalan terkontaminasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. “Satgas sampai saat ini kok diam saja.Ini sebenarnya kan ranahnya,yakni soal mafia hukum,”ujar Eva.
Sebelumnya Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat rekam jejak buruk kinerja mantan hakim PN Jakpus Syarifuddin Umar. Catatan ICW menyebutkan bahwa hakim pengawas kepailitan itu pernah menjatuhkan vonis bebas kepada 39 terdakwa kasus korupsi. Terdakwa kasus korupsi terakhir yang dibebaskan adalah Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin Najamuddin.
Menurut ICW, vonis bebas itu dijatuhkan oleh Syarifuddin selama bersidang di Pengadilan Negeri Makassar dan PN Jakarta Pusat.Dugaan praktik suap dalam pembebasan Agusrin dari tuntutan hukuman 4,5 tahun penjara bukan tanpa sebab. Dugaan tersebut muncul dari hasil pemantauan Komisi Yudisial (KY).
Bahkan, dalam perkara PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (PT CTPI) yang di gelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,sempat beredar kabar telah disusupi mafia peradilan. Ketua PN Jakpus Syahrial Sidik sempat dikabarkan melakukan pertemuan dengan pengacara Siti Hardiyanti Rukmana, Hary Ponto, dan Robert Bono yang diduga makelar kasus (markus) dalam kasus sengketa perdata PT CTPI.
Namun, pihak Tutut maupun Syahrial Sidik menepis dugaan ada pertemuan tersebut. Robert Bono sebelumnya juga diduga berperan sebagai makelar kasus pemailitan TPI yang dijatuhkan pengadilan yang sama beberapa waktu lalu. Pertemuan antara Hary Ponto, Robert Bono, dan Syahrial diduga dilakukan sebelum Ketua Majelis Hakim kasus TPI, Tjokorda Rai Suamba, membacakan vonis atas kasus sengketa saham tersebut. Hal ini pun dibantah oleh mereka. m purwadi
Sumber: Koran Sindo, 14 Juni 2011