DPR Guncang, KPK Geram; PPATK Sebut 41 Anggota DPR Terima 400 Cek
Bola panas yang digulirkan anggota DPR Agus Condro tentang adanya indikasi suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom terus membesar. Bahkan, temuan terbaru Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dipastikan membuat sebagian anggota DPR yang menangani proses pemilihan pada 8 Juni 2004 itu tidak dapat tidur nyenyak lagi.
Dalam laporannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin (10/9), PPATK mengungkapkan adanya aliran 400 lembar cek perjalanan kepada 41 anggota Komisi Perbankan DPR periode 1999-2004. Pemberian cek itu diduga terkait terpilihnya Miranda Goeltom sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia pada 8 Juni 2004.
Ketua PPATK Yunus Husein mengungkapkan, setiap lembar cek perjalanan tersebut bernilai Rp 50 juta. Jumlah yang diterima per orang bervariasi dengan nominal terkecil Rp 500 juta. Temuan itu menyusul pengakuan Agus Condro bahwa dia menerima cek perjalanan Rp 500 juta beberapa waktu setelah Miranda terpilih sebagai deputi gubernur senior BI pada 2004 lalu.
Aliran 400 cek perjalanan ke DPR periode 1999-2004 itu diduga masih terkait pengaduan anggota Fraksi PDIP Agus Condro. Sebab, nilai nominalnya masing-masing Rp 50 juta. Sebelumnya, di hadapan penyidik KPK pada 4 Juli 2008, Agus mengaku menerima 10 lembar ''travel cek panas'' senilai total setengah miliar rupiah seusai pemilihan deputi gubernur senior BI. Pemilihan pada 2004 yang berlangsung di Komisi IX DPR periode 1999-2004 itu akhirnya memenangkan Miranda Goeltom.
Menurut Agus, travel cek yang per lembarnya bernilai Rp 50 juta itu diberikan oleh Dudhie Makmun Murod di ruang kerja Emir Moeis. Ikut menerima cek tersebut Willem Tutuarima, Budi Ningsih, Matheus Pormes, dan Muhammad Iqbal. Agus kembali menjadi anggota DPR periode 2004-2009 dan duduk di Komisi II.
Juru Bicara PPATK M. Natsir Kongah menambahkan, laporan yang disampaikan Kepala PPATK Yunus Husein tersebut merupakan hasil inventarisasi laporan-laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) yang diterima PPATK dari penyedia jasa keuangan. ''Kami bertindak atas LKTM. Jumlahnya di atas Rp 500 juta. Sedangkan untuk transaksi keluar negeri di atas Rp 100 juta. Laporan penyedia jasa keuangan tersebut lantas dianalisis. Setelah itu kami serahkan hasilnya kepada penyidik, dalam hal ini kepolisian maupun KPK,'' lanjutnya.
Natsir melanjutkan, pihaknya melindungi sumber yang bersangkutan, dalam hal ini jasa penyedia keuangan. ''Terkait siapa saja orang-orang yang menerima, itu sudah di luar domain kami. Tanyakan saja ke KPK menyangkut hal tersebut,'' paparnya.
Dia menegaskan, pada prinsipnya transaksi keuangan mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri baku. Hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meski demikian, terdapat ciri-ciri umum dari laporan transaksi keuangan mencurigakan yang dapat dijadikan acuan. ''Di antaranya tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas. Kemudian, menggunakan uang tunai dalam jumlah relatif besar dan atau dilakukan berulang-ulang di luar kewajaran,'' ungkapnya.
Transaksi mencurigakan juga bisa dideteksi dari sifatnya yang di luar kebiasaan dan kewajaran aktivitas transaksi nasabah bersangkutan.
PPATK Terburu-buru
Pengungkapan PPATK itu kontan membuat guncang KPK dan DPR. Ketua DPR Agung Laksono langsung meminta Badan Kehormatan (BK) DPR segera berkoordinasi dengan KPK. ''Lebih baik dikoordinasikan begitu. Sehingga, (informasinya, Red) tidak bersifat spekulatif, tapi berbentuk formal,'' kata Agung di gedung DPR kemarin (10/9).
Menurut dia, bila aliran dana itu memang benar-benar ada, BK bisa segera menindaklanjutinya. ''Kalau menang bisa dibuktikan, ini bisa jadi bahan untuk diproses BK,'' ujarnya.
Sementara itu, Ketua KPK Antasari Azhar justru menyesalkan pengungkapan terburu-buru PPATK ke publik. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR kemarin, Antasari tampak kecewa dengan Ketua PPATK Yunus Husein, yang dengan enteng mengungkapkan data tersebut kepada salah satu media nasional. ''Jadi, saya akan konfirmasi ke PPATK. Apa benar (Ketua PPATK Yunus Husein, Red) menyampaikan langsung atau (dalam berita tersebut, Red) dia dikutip oleh pihak ketiga,'' ujar Antasari dengan nada tinggi.
Pernyataan itu meluncur ketika dia menjawab sejumlah anggota Komisi III yang mempertanyakan kebenaran data tersebut. Antasari menyayangkan bocornya data yang diserahkan PPATK itu. Pasalnya, demi kepentingan penyelidikan tak seharusnya hal itu bocor. Apalagi, jika yang memberikan keterangan ke publik justru pihak PPATK.
Kegeraman itu memang cukup beralasan. Sebab, sebelumnya Antasari selalu berusaha menjaga kesterilan proses penyidikan dari media. Berulang-ulang KPK hanya menyatakan telah menggandeng pihak lain untuk mendalami pengakuan Agus Condro tentang adanya aliran dana ke Komisi Keuangan dan Perbankan DPR di seputar pemilihan Miranda Goeltom sebagai deputi gubernur senior BI pada 2004. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ketua PPATK Yunus Husein membeberkan kerja sama itu ke media.
Praktis, ketika dicecar anggota dewan, Antasari hanya mampu mengiyakan dengan nada geram. ''Betul. Sore kemarin (9/9) kami terima, dan semua pernyataan (Yunus, Red) itu benar,'' ujarnya.
Mendengar hal itu, Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan pun mendesak KPK cepat bertindak jika tak mau dituduh lamban dan inkompeten. ''Kami sudah jenuh dijejali korupsi politik tingkat tinggi, dan kini KPK harus membongkar tuntas skandal Miranda-Agus Condro. Ini agar tak jadi teka-teki yang menggerogoti legitimasi demokrasi,'' tegas Trimedya.
Menghadapi desakan itu, Wakil Ketua KPK M. Jasin menyatakan, pihaknya masih terus mengumpulkan bukti untuk penyelidikan.
BK DPR Bertindak
Secara terpisah, Ketua BK DPR Irsyad Sudiro menyampaikan bahwa institusinya akan menggelar rapat koordinasi internal terlebih dulu. Tapi, prioritas koordinasi bukan dengan KPK, melainkan PPATK.
''Kami perlu tahu bagaimana mereka (PPATK, Red) tahu, siapa saja yang mengambil, dan kapan pencairan dilakukan,'' katanya.
Menurut Irsyad, temuan PPATK bisa menjadi bahan informasi BK untuk memprosesnya kalau memang memenuhi syarat. ''Jadi, PPATK diundang dulu untuk menggali informasi,'' tandasnya.
Sementara itu, anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR periode 1999-2004 Emir Moeis mengatakan, anggota Komisi IX kala itu ada 55 orang. Karena itu, jika yang disebut menerima dan telah mencairkan cek perjalanan ada 41 anggota, harus diketahui dulu nama-namanya. ''Akan sulit bagi saya untuk mengomentari kalau dipukul rata,'' kata Emir.
Karena belum mengetahui nama-nama anggota yang diduga menerima dan mencairkan cek perjalanan, Emir enggan menanggapi lebih lanjut laporan PPATK kepada KPK tersebut. Saat pemilihan deputi gubernur senior dilakukan, Emir menjabat ketua Kelompok Fraksi PDIP di Komisi Keuangan dan Perbankan. (zul/pri/sof/iw/kim)
Sumber: Jawa Pos, 11 September 2008