DPR Khawatirkan Penyadapan; Kasus Soeharto Minta Disupervisi
Beberapa anggota Komisi III DPR mempersoalkan mekanisme penyadapan dan perekaman yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pimpinan KPK menjelaskan kalaupun penyadapan dan perekaman dilakukan, itu dalam proses pro justisia dan bukan kegiatan intelijen.
Hal ini mengemuka dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dengan KPK, Selasa (20/6). Soal penyadapan termasuk salah satu dari lima pertanyaan yang diajukan meja pimpinan Komisi III. Rapat dipimpin Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan (F-PDI Perjuangan, Sumatera Utara II).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK diberi kewenangan untuk menyadap dan merekam. Namun, sejumlah anggota DPR kembali mempersoalkan kewenangan KPK itu dengan alasan khawatir disalahgunakan.
Selektif
Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean sempat menjelaskan penyadapan dilakukan selektif dan harus seizin pimpinan KPK. Akan tetapi, jawaban itu tidak memuaskan Komisi III. Maiyasyak Johan (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Sumut III) pun terus mencecar KPK soal itu.
Menurut dia, UU memang memberi kewenangan kepada KPK menyadap dan merekam. Namun, penyalahgunaan kekuasaan juga harus dicegah.
Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas menegaskan lagi bahwa KPK tidak sembarangan menggunakan kewenangan tersebut. Dia menjelaskan bahwa sudah setahun lalu KPK membuat pertemuan dengan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, serta para penyedia jasa telekomunikasi untuk membahas soal ini.
Dasar hukum penyadapan adalah UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi dan UU No 30/2002 tentang KPK. Belakangan juga telah diterbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2006. Dalam peraturan itu diatur pengawasan penyadapan oleh sebuah komite pengawasan publik.
Di dalam rapat itu, Panda Nababan (Fraksi PDIP, Jawa Barat V) mempertanyakan supervisi terhadap kasus Soeharto dan kroninya yang sekarang ditangani Kejaksaan Agung. (SUT/VIN)
Sumber: Kompas, 21 Juni 2006