DPR Minta Duit, Aulia Oke-Oke Saja
Setelah Gelontor Dana, Urusan BI Lancar
Satu per satu tokoh kunci kasus menggerojoknya dana Bank Indonesia (BI) ke DPR mulai terkuak. Jika sidang pekan lalu menghadirkan saksi yang mengungkap peran pengatur skenario mantan Wakil Ketua Komisi IX DPR yang kini menjabat Menteri PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, sidang kemarin giliran mantan Deputi Gubernur BI Aulia Tantowi Pohan yang dibelejeti.
Kesaksian analis eksekutif BI Asnar Ashari dalam sidang terdakwa Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong di Pengadilan Tipikor kemarin mengungkapkan, dirinya selalu mendampingi mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak saat berurusan dengan DPR terkait diseminasi RUU BI dan penyelesaian kasus BLBI. Saat itu, ungkap Asnar, dirinya dan Rusli selalu berhubungan dengan Aulia Pohan untuk melaporkan hasil kerja mereka. "Saya mendampingi Pak Rusli Simanjuntak melapor kepada Pak Aulia," ujarnya.
Laporan kepada besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu dilakukan lebih dari sekali. Aulia, katanya, juga mengetahui bahwa ada permintaan dana dari anggota DPR. "Ya, oke, kalau itu permintaan dari sana. Itulah yang kita penuhi," kata Asnar menirukan ucapan Aulia setelah menerima laporan.
Asnar juga mengaku mendampingi Rusli ketika melaporkan aliran dana Rp 31,5 miliar ke DPR dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG). Setelah penyerahan dana pertama, menurut Asnar, Rusli menyusun laporan dan membacakannya dalam RDG. Rapat itu antara lain dihadiri anggota Dewan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Maman H. Soemantri, dan Bun Bunan Hutapea.
Keterlibatan Aulia Pohan juga diungkap dalam kesaksian Baridjusalam Hadi. Mantan ketua Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) itu menyatakan, penarikan Rp 100 miliar dana YPPI atas persetujuan Dewan Pengawas YPPI Aulia Pohan dan Maman H. Somantri.
Bagaimana pertanggungjawabannya? "Saya tidak tahu. Kami belum mendapat keterangan pasti," ujar pria berkacamata itu. Dia lantas mengungkapkan bahwa dirinya tak tahu mekanisme pengembalian dana YPPI sampai sekarang.
Pengambilan dana tersebut memanfaatkan momentum perubahan status YPPI menjadi LPPI. Sebelumnya, saldo modal YPPI tercatat Rp 274 miliar. Namun, ketika berganti menjadi LPPI, yang tertulis hanya Rp 174 miliar. "Dalam neraca YPPI, uang Rp 100 miliar itu untuk sumbangan dari yayasan," ujar mantan bendahara YPPI Ratnawati Priyono.
Dia menambahkan, itu baru pertama YPPI mengeluarkan dana besar. "Menurut kebiasaan, yayasan belum pernah mencairkan dana sebesar itu," ujarnya.
Kasus BI berawal dari audit BPK yang menemukan adanya dana YPPI Rp 100 miliar. Dalam laporan ke KPK, BPK mengungkapkan rincian dana Rp 31,5 miliar mengalir ke Komisi IX DPR periode 1999-2004 dan Rp 68,5 mengalir untuk bantuan hukum para mantan pejabat BI.
Lima orang sudah diperkarakan dalam kasus tersebut, yakni mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong, mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simandjuntak, mantan anggota DPR Antony Zeidra Abidin, dan anggota DPR Hamka Yandhu.
Penyerahan Dana
Selain mengungkap peran Aulia Pohan, Asnar mengaku membantu Rusli menyerahkan sejumlah uang kepada Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu, sebelum kedua anggota DPR itu membagikannya kepada rekan kerja mereka di Senayan.
Penyerahan uang kepada Antony dan Hamka dilakukan dalam lima tahap. Tahap pertama penyerahan Rp 2 miliar di Hotel Hilton Jakarta pada 27 Juni 2003.
Penyerahan tahap kedua terjadi pada 2 Juli 2003 di rumah Antony, berupa penyerahan uang Rp 5,5 miliar. Kemudian, terjadi penyerahan Rp 7,5 miliar di Hotel Hilton, yang dilanjutkan penyerahan uang Rp 10,5 miliar di rumah Antony pada September 2003. Tahap akhir terjadi pada Desember 2003 berupa penyerahan Rp 6 miliar di rumah Antony.
Asnar menyebutkan, jumlah dana yang diberikan kepada Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu ternyata tak genap Rp 31,5 miliar. "Sampai akhir Desember 2003, uang yang dialirkan Rp 28,5 miliar," ujarnya. Jumlah tersebut, tambahnya, tak sesuai permintaan DPR yakni Rp 40 miliar. Menurut Asnar, uang Rp 3 miliar dikembalikan ke BI untuk diseminasi ke masyarakat.
Namun, uang itu hanya tersimpan di lemari besi di kantor milik Rusli Simanjuntak. "Diseminasi sudah tercukupi program reguler BI," ujarnya, lantas menambahkan uang tersebut dititipkan ke KPK Mei 2008.
BI Untung
Meski tak persis dengan keinginan Bank Indonesia, kucuran dana Rp 31,5 miliar ke Komisi IX DPR periode 1999-2004 membawa akibat menguntungkan dalam hal penyelesaian BLBI dan amandemen UU BI. Terkait penyelesaian BLBI, ada kesepakatan antara pemerintah dan BI menyusul penyelesaian politis di DPR. "BPK lantas mencabut status disclaimer dalam laporan keuangan BI 2003," ujar Asnar Ashari di sidang kemarin (11/8).
Apa pengaruhnya pada amandemen UU BI? "Kalau amandemen UU BI tidak sempurna untuk BI (tidak sesuai keinginan BI, Red), tapi tidak pending," ujar Asnar menjawab pertanyaan ketua majelis hakim Moefri. Dia menjelaskan, UU BI dibahas sejak 2000, tapi tidak ada perkembangan signifikan.
Saat sidang para terdakwa skandal aliran dana BI berlangsung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan anggota Komisi IX DPR yang kini menjadi anggota BPK Abdullah Zaini. Setelah menjalani pemeriksaan, Zaini menuding mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah tidak merespons secara positif hasil temuan BPK soal adanya kebocoran Rp 100 miliar itu. Bahkan, Burhanuddin tidak menggubris saran BPK yang meminta uang YPPI itu dikembalikan.
Menurut dia, terjadi pertemuan ketiga di Hotel Darmawangsa pada Desember 2006 lalu antara anggota Komisi IX DPR dan pihak BI yang membahas hasil audit BPK. Hadir dalam pertemuan itu Burhanuddin dan dirinya sendiri. "Saya diperiksa terkait penjelasan siapa yang hadir, lalu apa substansinya. Pada waktu itu saya diundang dan diminta hadir di pertemuan Darmawangsa dan mereka menanyakan bagaimana rekomendasi BPK terhadap hasil temuan Rp 100 miliar yang ditarik oleh BI dari YPPI," kata Abdullah.
Abdullah yang waktu itu hadir sebagai anggota BPK menyarankan agar uang tersebut dikembalikan kepada YPPI. Tetapi, Burhanudidn tidak merespons positif atau tidak ada niat mengembalikannya. "Tidak ada respons positif dari Burhanuddin Abdullah," kata Abdullah. (ein/kim)
Sumber: Jawa Pos,12 Agustus 2008