DPR untuk Mencari Nafkah; Demokrasi Tumbuh Tidak Ideal

Dukungan kepada anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat, Abdul Hadi Djamal, dan anggapan bahwa yang dialaminya hanyalah nasib apes, menunjukkan bahwa menjadi anggota legislatif masih lebih ditujukan untuk mencari nafkah dan bukan wakil rakyat dengan standar moral tertentu.

Ini menjadi salah satu masalah pelik dalam demokratisasi di Indonesia.

”Status Abdul Hadi sebagai anggota DPR tidak hanya menjadi sumber nafkah bagi dirinya sendiri, tetapi juga pihak lain yang masuk dalam jaringan kekerabatan atau kepentingannya. Karena itu, yang dialami Abdul Hadi juga akan merusak nafkah jaringannya sehingga wajar jika mereka ikut kecewa,” kata sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, Senin (9/3) di Jakarta.

Pernyataan itu disampaikan Tamrin menanggapi aksi sekitar 200 pendukung Abdul Hadi di Makassar, Sulawesi Selatan, yang menggelar doa bersama bagi tersangka penerima suap dari rekanan dan pegawai Departemen Perhubungan tersebut. Abdul Hadi tercatat sebagai caleg untuk daerah pemilihan Sulawesi Selatan I (Kompas, 7/3).

Status tersangka itu diterima Abdul Hadi setelah Senin (2/3) sekitar pukul 22.30, dia dan pegawai Departemen Perhubungan, Darmawati, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Dari mobil yang mereka tumpangi ditemukan uang 90.000 dollar AS (Rp 1,08 miliar dengan kurs Rp 12.000 per dollar AS) dan Rp 54,55 juta.

Dari informasi kedua orang itu, KPK lalu menangkap Hontjo Kurniawan, Komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bakti, Surabaya, di Apartemen Taman Anggrek, Jakarta Barat.

Juru bicara KPK, Johan Budi, menegaskan, yang dialami Abdul Hadi bukan masalah apes atau tidak apes, tetapi yang dilakukannya diduga merupakan kejahatan yang menjadi ruang lingkup KPK untuk mengusutnya. ”Kami akan memproses kasus ini secara profesional dan proporsional,” katanya.

Tamrin menambahkan, kuatnya pandangan menjadi anggota legislatif untuk mencari nafkah, seperti terlihat dalam aksi pendukung Abdul Hadi, terutama terjadi karena demokratisasi di Indonesia berjalan dalam kondisi yang tidak ideal, yaitu di tengah banyaknya pencari kerja dan lebarnya jurang penduduk kaya dan miskin. Padahal, demokratisasi antara lain mensyaratkan adanya kesetaraan.

Namun, lanjut Tamrin, kondisi ini tidak boleh menghalangi pemberantasan korupsi oleh KPK dan institusi lainnya. Upaya itu harus tetap dilakukan, di samping pembangunan sistem yang lebih adil. Sebab, penangkapan oleh KPK tidak hanya membuat anggota DPR lainnya berpikir saat melakukan hal serupa, tetapi juga memberikan pemahaman baru kepada masyarakat, terutama tentang korupsi di lingkungan pejabat publik.

Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies, J Kristiadi, menambahkan, upaya KPK selama ini telah menumbuhkan kontrol di masyarakat terhadap korupsi di lingkungan pejabat publik. ”Upaya kontrol ini harus terus dibangun, antara lain lewat kampanye atau pemberitaan intensif terhadap berbagai korupsi,” katanya. (NWO)

Sumber: Kompas, 11 Maret 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan