DPR yang Belum Juga Naik Kelas
Kualitas lembaga Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 diperkirakan tak lebih baik, bahkan menurun, dibandingkan dengan DPR periode sebelumnya.
Demikian diingatkan Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, seperti ditulis di harian Kompas, 11 Mei 2009.
Saat itu peringatan dari Yudi seperti melawan optimisme sebagian kalangan terhadap DPR periode 2009-2014. Optimisme yang saat itu terasa amat wajar karena 90 persen dari 560 anggota DPR yang terpilih pernah mengecap pendidikan tinggi. Selain itu, ada lebih dari 65 persen wajah baru di lembaga legislatif itu, yang umumnya menjanjikan karena diduga belum terkontaminasi polusi politik, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Metode pemilihan dengan menggunakan suara terbanyak pada Pemilu 2009 diyakini juga akan semakin mendekatkan anggota DPR terpilih dengan pemilihnya. Mereka diyakini tak akan mudah melepaskan diri dari tuntutan pemilihnya karena risikonya akan tidak terpilih pada pemilu berikutnya.
Optimisme ini sempat menguat ketika DPR periode 2009-2014 mengawali gebrakannya dengan membentuk panitia khusus untuk mengusut pemberian dan penggunaan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Lebih dari tiga bulan, rakyat menikmati ”tontonan” pengusutan secara politis kasus Bank Century, sambil berharap, kasus itu menjadi titik tolak baru dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, khususnya korupsi politik di Indonesia.
Menjadi nyata
Namun, berbagai optimisme itu mendadak anjlok saat ”tontonan” Pansus Bank Century belum selesai, tiba-tiba diganti dengan munculnya Sekretariat Gabungan Partai Politik Pendukung Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau Setgab. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie menjadi Ketua Harian Setgab.
”Bank Century adalah permainan untuk menaikkan posisi tawar,” demikian kesimpulan mantan anggota Pansus Bank Century dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hendrawan Supratikno, setelah melihat perkembangan kasus yang ikut dia selidiki itu.
Belum selesai kekagetan atas hadirnya Setgab, tontonan lain segera dimainkan DPR, seperti usulan tentang dana desa sebesar Rp 1 miliar untuk setiap desa, dana aspirasi Rp 15 miliar untuk setiap anggota DPR atau total sebesar Rp 8,4 triliun, hingga pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,6 triliun.
Di saat bencana alam terjadi di Wasior (Papua Barat), Mentawai (Sumatera Barat), serta sebagian DI Yogyakarta dan Jawa Tengah akibat meletusnya Gunung Merapi, sebagian anggota DPR tetap pergi studi banding ke luar negeri dengan memakai uang negara. Empati anggota DPR semakin dipertanyakan saat Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan, tsunami adalah risiko warga yang tinggal di pantai seperti di Mentawai dan mengusulkan pemindahan warga di daerah itu.
Akhirnya, apa yang terjadi di DPR saat ini seperti mengulang kasus di DPR sebelumnya. Dari 70 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010, target direvisi menjadi 35 UU disahkan tahun ini dan 35 RUU lainnya selesai pembahasan tingkat pertama dan menjadi prioritas Prolegnas 2011. Fenomena itu sama dengan DPR periode 2004-2009, yang hanya menyelesaikan 190 UU dari target sebanyak 284 UU.
Namun, dalam survei yang dilakukan Charta Politica pada September lalu, DPR saat ini tidak hanya sama dengan Dewan periode sebelumnya, tetapi bahkan lebih buruk. DPR dinilai lebih banyak berkutat dengan isu kontroversial yang dibuatnya sendiri.
Krisis representasi
Airlangga Pribadi Kusman, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, melihat, yang terjadi di DPR saat ini adalah bentuk yang paling jelas dari krisis representasi politik. Apa yang dipikirkan dan dilakukan sebagian besar anggota DPR amat berbeda dengan yang diharapkan rakyat.
Anggota DPR umumnya hanya berorientasi pada bagaimana memperbesar kekuasaan politik dan ekonomi untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya. ”Terbentuknya Setgab makin menunjukkan adanya politik transaksional di antara parpol untuk mengamankan aset politik dan ekonomi,” ujarnya.
Di saat yang sama, perdebatan yang bersifat ideologi untuk menyejahterakan rakyat, seperti yang dahulu dilakukan pendiri bangsa, misalnya Soekarno, M Hatta, dan Sutan Sjahrir, hampir tidak ditemukan lagi di politik praktis Indonesia saat ini.
Mahalnya biaya politik makin memacu anggota DPR ”bertransaksi” guna mencari cara untuk mengembalikan modal politiknya. Sebab, jika rata-rata pendapatan sah anggota DPR setiap bulan Rp 70 juta, pendapatan yang diperolehnya selama lima tahun menjabat hanya Rp 4,2 miliar.
Padahal, seperti disampaikan Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR M Romahurmuziy, biaya kampanye menjadi anggota DPR pada Pemilu 2009 antara Rp 300 juta dan Rp 10 miliar. Sebab, mereka harus membuat kaus, beriklan, membiayai saksi di tempat pemungutan suara, hingga ikut menyediakan makanan saat kampanye.
”Perbaikan partai menjadi kunci utama untuk keluar dari kondisi ini. Selama partai belum menerapkan sistem yang terbuka dan berdasarkan prestasi dalam penyusunan calon anggota legislatif, kondisi masih akan sulit berubah,” tutur Airlangga.
Masalahnya, hingga saat ini, partai (semakin) terjebak pada praktik oligarki dan pragmatisme. Politik tetap menjadi karier yang sulit diprediksi dan butuh modal besar untuk terjun di dalamnya. Ini membuat mereka yang menggenggam kekuasaan politik akan berusaha memanfaatkan semaksimal mungkin untuk dirinya sendiri.
”Saat ini, sebenarnya tetap ada anggota DPR yang berusaha mendengarkan aspirasi rakyat dan memiliki garis perjuangan politik yang jelas, yaitu untuk kesejahteraan rakyat. Namun, jumlah mereka sangat sedikit. Mereka juga kesulitan mendobrak arus utama yang ada di DPR dan partai,” ungkap Airlangga.
Namun, yang pasti, kuatnya solidaritas rakyat, misalnya dalam penanggulangan bencana akibat meletusnya Gunung Merapi, menunjukkan, rakyat memiliki kekuatan dan cara sendiri untuk mempertahankan dirinya sendiri. Ini karena para wakil rakyat yang mereka pilih belum juga naik kelas karena masih sekadar menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk diri mereka sendiri. [M Hernowo]
Sumber: Kompas, 11 November 2010