DPRD dan Pemda Aktor Utama Korupsi di Indonesia
Korupsi terbesar di Indonesia tahun 2004 dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, disusul kepala daerah, aparat pemerintah daerah, direktur badan usaha milik daerah, serta pimpinan proyek. Demikian catatan Indonesia Corruption Watch.
Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) itu disampaikan Wakil Koordinator ICW Danang Widoyoko dan Program Manajer Informasi Publik ICW Adnan Topan Husodo kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam rapat dengar pendapat di Jakarta, Kamis (17/2). ICW itu juga menunjukkan dari 432 kasus korupsi yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia sepanjang tahun 2004, sebagian besar dilakukan oleh DPRD.
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPD La Ode Ida ini sengaja digelar untuk menyerap kegelisahan masyarakat atas semakin maraknya korupsi di berbagai daerah.
Sementara Wahyu Muhammad dari Indonesian Procurement Watch (IPW) mengharapkan kepada DPD untuk mendorong segera disusunnya Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa. IPW menilai bahwa ketiadaan aturan soal proses pengadaan barang dan jasa ini yang menumbuhsuburkan korupsi di berbagai daerah.
Identifikasi problema
Sementara praktisi hukum Bambang Widjojanto mengatakan, diskursus mengenai pemberantasan korupsi lebih banyak menonjolkan sisi problematika dalam pemberantasan korupsi. Sementara solusi alternatif dan cerita sukses mengenai pemberantasan korupsi kurang diketengahkan. Padahal, sisi lain soal pemberantasan korupsi bisa menimbulkan harapan kepada masyarakat bahwa korupsi bisa diperangi.
Saya khawatir masyarakat menjadi permisif dan beranggapan korupsi tak mungkin bisa diatasi. Misalnya, kalau berurusan dengan polisi harus memberikan uang, kalau tidak, urusan tak lancar. Karena masyarakat menganggap itu sudah menjadi kebiasaan, maka masyarakat menjadi permisif terhadap korupsi, ujar Bambang.
Sebelumnya diberitakan, berdasarkan hasil survei berbentuk Indeks Persepsi Korupsi untuk Indonesia Tahun 2004, Transparency International (TI) Indonesia menilai Jakarta adalah kota terkorup di Indonesia, disusul 20 kota lainnya. Reaksi atas survei ini antara lain muncul dari Wali Kota Tangerang Wahidin Halim. Ia merasa dirugikan dan telah menghubungi pimpinan TI Indonesia, Todung Mulya Lubis. Katanya, Todung akan memberikan penjelasan pekan depan.
Bambang mengatakan, hasil survei TI Indonesia tidak boleh berhenti hanya sekadar hasil survei. Itu harus memicu solusi- solusi alternatif untuk memerangi korupsi. Ia mengatakan, survei TI Indonesia dan survei sejenisnya yang dimaksudkan untuk memotret persepsi publik soal masalah korupsi belum berhasil menangkap proses yang sedang bergerak, misalnya terbitnya Inpres Percepatan Pemberantasan Korupsi dan adanya Rencana Aksi Nasional soal pemberantasan korupsi.
Perizinan
Pengusaha rotan di daerah Mojokerto dan Sidoarjo, Nur Cahyudi, kemarin mengatakan, pelayanan perizinan yang tidak jelas soal waktu dan biaya, ditambah prosedur berbelit, dan kewenangan tumpang tindih, merupakan celah bagi praktik korupsi. Pengusaha kemudian cenderung mencari jalan pintas dengan memberi uang pelicin untuk memuluskan proses izin.
Dia memaparkan, pengurusan izin rekomendasi, di mana pada saat peninjauan lokasi dilakukan tim yang terdiri dari Badan Pertanahan Nasional, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Dinas Perizinan dan Penanaman Modal, yang harus menghadirkan kepala desa dan camat sebagai saksi, sangat rentan memunculkan praktik korupsi.
Ini kan bukan perkara yang mudah, dan sangat mungkin dibutuhkan dana tambahan. Padahal, seharusnya kehadiran mereka lebih karena hubungan struktural sehingga seharusnya pengusaha tidak perlu mengeluarkan dana ekstra, ungkap Cahyudi.
Berdasarkan penuturannya, paling tidak, untuk masing-masing orang, baik kepala desa maupun camat, pengusaha harus mengeluarkan dana Rp 100.000. Bahkan, apabila dirasa kurang, ada yang secara terang- terangan meminta lebih.
Praktik ilegal tersebut masih berlanjut pada saat penghitungan luas tanah yang akan digunakan untuk tempat usaha. Karena biaya yang harus dibayarkan ada konversinya masing-masing sesuai dengan luas tanah, praktik uang pelicin pun terpaksa kembali terjadi. Untuk yang luasnya berhektar- hektar, sangat mahal. Makanya, kadang-kadang ada kesepakatan dengan cara memperkecil luas bangunan sehingga tarif menjadi lebih kecil. Di situ biasanya petugas kemudian mencari fee, katanya. (SUT/BDM/DOE/NAS)
Sumber: Kompas, 18 Februari 2005