Draf RUU Pengadilan Tipikor, Antikorupsi SBY Kendur
PENYELESAIAN RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sudah lama lampu kuning. Kita terus cemas, aturan hukum strategis itu tak rampung hingga anggota DPR selesai tugas Oktober ini. Kini kecemasan itu bertambah satu lagi: ada upaya pengebirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam draf RUU yang diajukan pemerintah. Sesuatu yang dikebiri akan berlanjut ke kemandulan dan keloyoan. Kesangaran KPK sebagai superbody akan terlucuti.
Draf itu tak memberikan KPK wewenang penuntutan. Padahal, selama ini salah satu kehebatan KPK adalah dalam menjaga mutu tuntutan. Dengan dukungan alat bukti yang telak, seperti tangkap tangan dan rekaman, tak satu pun kasus yang dibawa KPK ke pengadilan membuahkan putusan bebas.
Bila seseorang disidik dan dituntut KPK, kemungkinan lolos sebesar lubang jarum pentul alias tak ada lobang sama sekali. Keberhasilan KPK menjebloskan setiap terdakwa korupsi itu sampai-sampai menjadi ''standar'' kelayakan aparat hukum yang menangani korupsi. Ketika jaksa atau hakim akan dipromosikan atau mendapat tugas baru, kerap disorot rekam jejaknya dalam menangani kasus korupsi.
Bila mereka punya banyak catatan kegagalan memenjarakan koruptor, opini publik seakan bilang bahwa kualitas aparat itu jelek. Padahal, jaksa dan hakim jelas berbeda posisi. Jaksa bisa dianggap gagal kalau tak bisa memenjarakan terdakwa korupsi yang dituntutnya. Sedangkan hakim selalu bisa berlindung di balik asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam meloloskan terdakwa korupsi.
Bila lengan kewenangan KPK melakukan penuntutan digunting, tentu kita bayangkan tingkat kekuatan KPK akan menurun drastis. Kita cemas, kerja keras KPK menangkap dan mengumpulkan bukti hebat akan kandas di tangan jaksa konvensional. Padahal, kehadiran KPK selama ini untuk ''mengoreksi'' mereka karena dianggap tak siap dan tak sigap dalam memberantas korupsi.
Lihat saja, setelah ada KPK yang punya reputasi hebat itu, kejaksaan juga tak terlihat berupaya mengejar. Iklim kompetisi yang ingin diciptakan dengan pendirian KPK pun terkesan tak terjadi. Kejaksaan tetap belum bisa mengail big fish dalam kasus korupsi. Bahkan, kasus pemenjaraan jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK pun tak membuat kejaksaan membuka kembali kasus BLBI, kasus yang ditunggangi Urip untuk mendapatkan uang suap.
Yang mengherankan juga, dulu anggapannya bahwa RUU Tipikor tak beres-beres karena DPR yang mengulur-ulur waktu. DPR dicurigai gerah karena banyak anggota DPR tertangkap KPK. Pembahasan begitu lamban, sampai-sampai batas waktu pengesahan RUU Tipikor, yakni Desember 2009, kian mepet. Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi memberikan batas waktu tiga tahun untuk mengesahkan RUU Tipikor sebagai pelengkap penting UU Nomor 30/2002 tentang KPK.
Ternyata, pemerintah juga ingin KPK direm. Buktinya, draf dari pemerintahan SBY yang menghapus kewenangan penuntutan itu (baca koran ini kemarin). Padahal, masih terngiang kampanye SBY atau Demokrat dalam pemilu legislatif lalu yang membanggakan KPK dalam memberantas korupsi. Apakah berlebihan bila upaya mengurangi kewenangan penuntutan KPK itu dinilai sebagai upaya ''menjinakkan'' KPK?
Kalau memang bukan begitu maksudnya, tentu harus segera ditegaskan bahwa pemerintahan SBY tetap menginginkan KPK memiliki wewenang menuntut. Pemerintah SBY juga harus tetap menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan memberikan batas minimal hukuman bagi koruptor. Sebab, pemberantasan korupsi di Indonesia belum separo jalan.
Alangkah gagah jika SBY kepada KPK juga mengatakan: Lanjutkan!(*)
Tulisan ini merupakan tajuk rencana Jawa Pos, 28 April 2009