Draf RUU Tipikor Tak Akomodasi Korupsi Baru
Draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) dinilai tidak mengakomodasi kemungkinan ada jenis korupsi baru.
RUU ini hanya menerjemahkan kesepakatan United Nation Convention of Anti Corruption (UNCAC). RUU Tipikor usulan pemerintah ini dinilai lemah terhadap tindak pidana korupsi jenis baru. Mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chairul Imam menyatakan, jenis tindak pidana korupsi diatur pasal per pasal.“Padahal jenis tindak pidana korupsi selalu berkembang dan bertambah,” ungkap Chairul di Jakarta kemarin. Dia menyatakan, perkembangan korupsi sangat bergantung pada sistem administrasi negara.
Sistem administrasi negara yang masih rentan korupsi menyebabkan perkembangan jenis korupsi.“ Any timekorupsi ini harusnya diantisipasi dengan pasal keranjang sampah,”ujarnya. Dia juga menjelaskan, dalam UU sebelumnya pasal keranjang sampah ini diatur dalam Pasal 21 UU No 31/1999 mengenai Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001.Pasal ini mengatur tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Chairul menambahkan,RUUini seharusnya mampu meningkatkan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengawasi penanganan korupsi di institusi lain seperti kejaksaan dan kepolisian. Mengadili koruptor tidak lagi menjadi target utama KPK.“KPK bisa mengusulkan perubahan sistem yang dianggap koruptif,”je-lasnya. Menyikapi RUU ini,Ketua Masyarakat Peradilan Indonesia (Mapi) Hasril Hananto menyatakan, keseluruhan RUU Tipikor baru merupakan terjemahan atas kesepakatan UNCAC.
Asas yang digunakan dalam kesepakatan UNCAC adalah recoveryaset dan penanganan hasil-hasil kejahatan. “Jika dikaitkan dengan kaidah hukum pidana malah akan menjadi blunder karena asas ini belum banyak dikenal,” jelasnya. Hasril menyebutkan,peradilan Indonesia tidak mengenal pengelolaan aset.Pengelolaan aset yang dilakukan tidak profesional akan menurunkan nilai aset tersebut. “Ini bahaya karena akan merusak recovery,”jelasnya.
Dia mengingatkan,legal drafter pemerintah harusnya memperhatikan asas hukum dalam melakukan penerjemahan.“Jangan hanya di terjemahkan dalam bahasa Indonesia, tapi latar belakangnya harus diperhatikan,” ungkapnya. Sebelumnya, anggota Badan Pekerja ICW Febri Diansyah juga menyebut draf RUU Tipikor versi pemerintah dinilai memiliki sejumlah kelemahan dan persoalan mendasar yang harus dibenahi di antaranya terkait kewenangan KPK yang hanya sampai pada tingkat penyidikan.
“RUU itu sudah menyangkut masalah mendasar sekali dalam pemberantasan korupsi. KPK sangat dilemahkan karena kewenangannya hanya sampai pada tahap penyidikan,” kata Febri Diansyah. Menurut Febri, draf RUU Tipikor versi pemerintah disusun oleh orang-orang yang justru memiliki keinginan untuk melemahkan institusi pemberantasan korupsi. Dalam banyak bagian RUU, aturan yang ditulis justru akan menjadikan pemberantasan korupsi mundur ke “era kegelapan”.
“Dari potret-potret itu, sepertinya ada upaya sistematis,”kata Febri. Dengan kewenangan yang hanya sampai pada tahap penyidikan, lanjut Febri,KPK diyakini tidak lagi menjadi lembaga pemberantasan korupsi yang disegani para koruptor. “Ini kan mengindikasikan bahwa penuntutan akan dikembalikan pada kejaksaan.
Itu sama saja dengan menyabotase upaya pemberantasan korupsi yang sedang digalakan,”tandasnya. (m purwadi)
Sumber: Seputar Indonesia, 5 Mei 2009