Dua Aktivis ICW Tersangka Kasus Pencemaran Nama Baik Kejagung

Setelah Kejagung Adukan ke Polri karena Berita di Koran

Dua aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) ditetapkan Mabes Polri sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik Kejaksaan Agung (Kejagung). Mereka adalah Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho serta Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Illian Deta Arta Sari.

Penetapan tersangka tersebut diketahui dari surat panggilan yang dilayangkan Mabes Polri kemarin (12/10). Emerson dan Illian menerima panggilan agar menghadap ke Direktorat I/Kamtranas Bareskrim Polri. ''Dua aktivis ditetapkan sebagai tersangka. Surat diterima langsung oleh yang bersangkutan,'' kata peneliti hukum ICW Febri Diansyah kemarin.

Emerson maupun Illian dijerat pasal 311 dan 316 KUHP tentang fitnah, penghinaan, serta pencemaran nama baik.

Menurut Febri, penetapan dua rekannya sebagai tersangka itu janggal. Sebab, penetapan tersangka tersebut terjadi saat ICW melakukan advokasi terhadap kriminalisasi pimpinan KPK oleh petinggi kepolisian. ''Kami menilai (penetapan status tersangka) itu sebagai upaya kriminalisasi terhadap aktivis antikorupsi.''

Selama ini, ICW memang lantang mempersoalkan proses hukum yang dialami dua pimpinan nonaktif KPK (Bibit S. Riyanto dan Chandra M. Hamzah) oleh kepolisian. Selain itu, ICW getol menyoroti kinerja kejaksaan yang sempat terpuruk karena kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan.

Ihwal kasus itu bermula dari pernyataan Emerson dan Illian dalam berita yang dimuat harian Rakyat Merdeka edisi 5 Januari 2009. Intinya, mereka mengkritik pengelolaan pengembalian uang kasus korupsi yang ditangani kejaksaan. ''ICW menggunakan data resmi hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),'' terang Febri.

Namun, hal itu disikapi berbeda oleh kejaksaan. Pada 7 Januari lalu, Kejagung melaporkan dua aktivis tersebut ke Bareskrim Polri. Karena deliknya pidana, yang dilaporkan adalah individu, yaitu Emerson dan Illian.

Kadivhumas Mabes Polri Irjen Nanan Soekarna irit berkomentar soal itu. ''Saya tidak tahu banyak,'' ujarnya di sela jumpa pers tentang terorisme di Rupatama, Mabes Polri, tadi malam.

Dia meminta agar semua pihak mengikuti proses hukum. ''Proporsional saja. Itu kan baru panggilan tersangka, ya diikuti saja dulu,'' kata mantan Kapolda Sumut tersebut.

Anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi menyayangkan pelaporan ke polisi dan penetapan dua aktivis itu sebagai tersangka. Menurut dia, kejaksaan seharusnya merespons pemberitaan tersebut menggunakan mekanisme hak jawab atau hak koreksi. ''Kami jelas merasa sedih karena orang yang menggunakan hak komunikasi politiknya malah diancam pasal pencemaran nama baik,'' katanya.

Menurut dia, dalam demokrasi, hak komunikasi politik tidak bisa dipisahkan dari hak menyatakan pendapat dan kebebasan pers. ''Ini sama saja mengekang demokrasi.'' (fal/rdl/dwi)

SUmber: Jawa Pos, 13 oktober 2009
---------------
Dua Aktivis ICW Jadi Tersangka
Emerson Tak Akan Penuhi Panggilan Polisi

Dua aktivis Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari, dijadikan tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik pejabat negara. Pejabat negara yang dimaksudkan adalah Kejaksaan Agung.

Beberapa kalangan curiga penetapan tersangka ini berkaitan dengan sikap kritis Indonesia Corruption Watch (ICW), terutama kedua aktivis itu, dalam persoalan konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kepolisian. ICW banyak mempersoalkan oknum pejabat Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dalam kasus itu.

Kecurigaan itu setidaknya diungkapkan oleh peneliti hukum ICW, Febri Diansyah, Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid, dan seorang penasihat hukum KPK, Alexander Lay, yang dihubungi secara terpisah, Senin (12/10) di Jakarta.

Febri melihat adanya kejanggalan dalam penetapan tersangka yang tidak didahului proses pemeriksaan. Apalagi, kasus yang disangkakan adalah kasus lama yang dihidupkan kembali.

”Tak pernah ada pemeriksaan selama rentang Januari hingga Oktober 2009. Tiba-tiba muncul penetapan tersangka dalam waktu yang bersamaan saat ICW sangat intens untuk mengkritisi oknum di kepolisian, terutama Kepala Bareskrim,” ujar Febri.

Alexander Lay dan Edy Suandi melihat hal ini sebagai upaya kriminalisasi. ”Ini bisa dilihat sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat dan upaya masyarakat sipil untuk ikut berpartisipasi dalam proses pemberantasan korupsi,” ungkap Alexander.

Edy Suandi melihat penetapan tersangka itu memperkuat kecurigaan tentang adanya upaya sistematis untuk mengkriminalkan aktivitas gerakan pemberantasan korupsi. Ia menyesalkan cara-cara demikian yang justru bakal memperburuk citra kepolisian.

Menurut Edy, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya mengoreksi kebijakan yang diambil Kepala Polri. Pemerintah dan polisi sebaiknya mendengarkan suara kritis sebagai kontrol terhadap mereka.

”Jangan membungkam aktivis dengan mengkriminalkan mereka. Suara kritis tetap tidak akan hilang. Justru militansi akan semakin muncul,” kata Edy, yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Dipanggil pekan depan
Emerson dan Illian juga menerima surat panggilan pemeriksaan nomor 1120/X/2009-I dan 1121/X/2009-I sebagai tersangka pada 15 Oktober 2009. Surat tertanggal 9 Oktober 2009 itu mencantumkan pasal yang disangkakan, yakni Pasal 311 dan 316 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Polisi menerima laporan pengaduan dari jaksa Widoyoko pada 7 Januari 2009 atas berita di harian Rakyat Merdeka edisi 5 Januari berjudul ”Uang Korupsi kok Dikorupsi, Kemana Duit Rp 7 Triliun”. Dalam berita itu, ICW mempersoalkan klaim Kejagung yang mengaku berhasil menyelamatkan uang negara senilai Rp 8 triliun sepanjang 2008. ICW justru mempertanyakan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada semester II tahun 2008 senilai Rp 7 triliun yang belum diselesaikan Kejagung.

Emerson mengaku tidak akan hadir pada 15 Oktober 2009. Pihaknya justru akan mengklarifikasi surat panggilan polisi yang menyebutnya bekerja di International Coroption Watch, bukan Indonesia Corruption Watch.  (ana)

Sumber: Kompas, 13 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan