Dua Direktur Tak Penuhi Panggilan Kejagung; Diperiksa sebagai Saksi Kasus Tommy Soeharto
Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai memeriksa para saksi kasus korupsi yang melibatkan Tommy Soeharto kemarin. Kasus itu adalah penggunaan fasilitas Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), Badan Penyangga Pemasaran Cengkih (BPPC). Tim penyidik menjadwalkan pemeriksaan dua pengurus Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK).
Salah satu saksi adalah Direktur Produksi PT Djarum Teguh Budi Santoso (TBS). Sedangkan satu saksi lagi berinisial SJJB, yang merupakan direktur produksi PT Nojorono Tobacco Indonesia (NTI), pabrikan rokok kretek Sukun.
Sayang, hingga petang kemarin, Teguh dan SJJB tidak menghadiri pemeriksaan. Dua saksi tersebut punya kegiatan lain sehingga tidak dapat memenuhi panggilan kejaksaan. Kami akan memanggil lagi yang bersangkutan, kata Direktur Penyidikan Kejagung M. Salim di gedung Kejagung kemarin. Praktis, kemarin kejaksaan gagal memeriksa dua saksi.
Di tempat terpisah, Kapuspenkum Kejagung Salman Maryadi menegaskan, kejaksaan bakal memanggil lagi dua saksi tersebut dua pekan mendatang. Untuk pekan depan, tim penyidik sudah punya jadwal padat sehingga tidak ada agenda memeriksa TBS dan SJJB, jelas Salman.
Salim menegaskan, tim penyidik menjadwalkan pemeriksaan beberapa saksi dari pengurus organisasi perusahaan rokok kretek, baik dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Untuk saksi dari Jawa Timur, kami telah menandatangani pengurus yang berasal dari PT Gudang Garam dan pabrikan lain, jelas mantan wakil kepala Kejari Jawa Tengah itu.
Menurut Salim, untuk pekan ini, tim penyidik menjadwalkan pemeriksaan enam saksi dari pabrikan rokok kretek yang pernah berhubungan dengan BPPC, khususnya dalam pembelian cengkih. Rinciannya, empat dari pabrikan rokok kretek dari Jawa Tengah dan dua dari Jawa Timur. Ini untuk melengkapi pemeriksaan terdahulu, jelas Salim. Sebelumnya, tim penyidik memeriksa tujuh perusahaan yang terdiri atas lima pabrikan rokok kretek dari Jawa Tengah dan dua pabrikan rokok kretek dari Jawa Timur. Tujuh perusahaan tersebut adalah pengguna dan pembeli cengkih dari BPPC.
Salim menjelaskan, para pabrikan rokok kretek ditanyai seputar harga dan permasalahan lain terkait pembelian cengkih. Ini untuk bahan penyidikan selanjutnya, jelas Salim. Sedangkan Tommy, pengurus BPPC lain, dan pengurus Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) diperiksa belakangan.
Ditanya kerugian negara, Salim menegaskan, kejaksaan meminta BPKP untuk menghitungnya. Kerugian negara disebabkan fasilitas yang diterima BPPC dari pemerintah dilaksanakan tidak sesuai dengan Keppres 20/1992 juncto Inpres 1/1992. Kami sudah mengirimkan surat ke BPKP, jelas mantan kepala Kejari Jakarta Utara itu. Tim penyidik bakal menggunakan hasil penyidikan sebelumnya yang menyimpulkan adanya kerugian negara Rp 1,7 triliun.
Selain menangani kasus BPPC, kejaksaan mulai menyidik kasus korupsi pembebasan bea masuk (BM) impor atas program mobil nasional (mobnas) oleh PT Timor Putra Nasional (TPN). Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan, rencana penyidikan kasus itu dilatari temuan kerugian negara dalam kasus tersebut.
Penyidikan kasus BPPC sendiri terkait gugatan intervensi pemerintah RI terhadap uang EUR 36 juta (Rp 424 miliar) yang tersimpan di BNP Paribas, Guernsey. BPPC merupakan badan yang dibentuk berdasar Keppres 20/1992 jo Inpres 1/1992 oleh mantan Presiden Soeharto. BPPC telah diberi monopoli penuh untuk membeli dan menjual hasil produksi cengkih dari petani.
Seluruh hasil produksi cengkih oleh petani harus dibeli BPPC dengan harga yang telah ditentukan, sedangkan pabrik rokok kretek (PRK) harus membeli cengkih dari BPPC dengan harga yang telah ditentukan juga.
BPPC terdiri atas berbagai unsur, yakni Inkud dari unsur koperasi, PT Kerta Niaga dari unsur BUMN, dan unsur swasta melalui PT Kembang Cengkih Nasional yang merupakan perusahaan milik Tommy. (agm)
Sumber: jawa pos, 29 Mei 2007