Dua Istri Menteri Juga Ikut Terlibat; Istri Rokhmin Akui Uang DKP Rp 200 Juta

Senyum tersungging di bibir Pigoselpi Anas ketika memasuki ruang persidangan kemarin. Istri Rokhmin Dahuri itu tampak siap menjadi saksi atas kasus dugaan korupsi di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang menjerat suaminya. Padahal, ketika masih berada di ruang terdakwa, ibu empat anak itu tampak tegang sambil membolak-balik majalah di tangannya.

Meski punya hak menolak panggilan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perempuan kelahiran Payakumbuh itu tetap bersedia dimintai keterangan dalam persidangan. Saya bersedia menjadi saksi. Saya meminta disumpah agar keterangan saya lebih bermakna, ujarnya kepada majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut JPU Tumpak Panggabean, pemanggilan istri Rokhmin sebagai saksi itu relevan. Saksi akan dimintai keterangan soal dua hal, yaitu kepemilikan sertifikat tambak di Lampung dan uang Rp 200 juta yang masuk ke rekening saksi, ujar Tumpak.

Pigoselpi mengakui ada transfer Rp 200 juta dari Didi Sadili, staf Rokhmin. Namun, lanjut dia, itu adalah uangnya yang dipinjam untuk keperluan DKP. Beliau (Rokhmin, Red) minta saya menalangi dana untuk keperluan menteri sampai terakumulasi dana Rp 200 juta, jelas Pigoselpi dalam sidang yang dimulai pukul 13.00 itu.

Terlihat emosi, Pigoselpi mengungkapkan alasan meminjamkan uang karena saat itu dana untuk keperluan menteri belum tersedia dalam APBN. Sedangkan sebagai menteri baru, banyak kegiatan yang harus dijalankan Rokhmin. Dia menambahkan, hal itu memang tak diungkapkan saat dirinya diperiksa. Dia baru ingat soal peminjaman itu setelah pulang dari pemeriksaan di gedung KPK Veteran.

Transfer uang itu, menurut dia, adalah bentuk pengembalian dari uang yang dipinjamkan kepada Rokhmin. Meski demikian, kata dia, peminjaman dan pengembalian uang tak disertai tanda terima selain bukti transfer ke rekening. Setelah sampai Rp 200 juta, saya tidak mau minjami lagi, ujarnya. Tak hanya meminjamkan Rp 200 juta kepada Rokhmin, Pigoselpi diketahui mengeluarkan Rp 500 juta untuk membeli tanah untuk tambak.

Dari mana uang itu? Menurut perempuan yang memakai stelan baju muslim serbaungu itu, sebelum menjadi menteri, Rokhmin bekerja sebagai guru gesar IPB dan konsultan beberapa perusahaan, termasuk Freeport. Itu uang simpanan. Beliau dibayar dengan dolar. Saya selalu bertanya kepada suami saya, kapan selesai menjadi menteri, ujarnya, lantas menjelaskan bahwa dirinya lebih senang suaminya tak menjadi menteri. Salah satu alasannya adalah masalah pemasukan yang tak sebanyak ketika menjadi konsultan.

Namun, jawaban Pigoselpi tak bertahan lama. Anggota majelis hakim I Made Hendra Kusuma menyerangnya dengan pertanyaan tajam dan menjebak. Talangan Rp 200 juta itu Saudara berikan ketika terdakwa menjadi menteri atau menjadi Dirjen, tanya hakim ad hoc itu. Dengan tak yakin, Pigoselpi mengaku lupa. Dia bahkan tak ingat kapan suaminya menjadi Dirjen Pelayaran Tangkap dan Pesisir DKP.

Ketika ditanya soal penyerahan uang Rp 500 juta untuk pembelian tanah tambak, Pigoselpi mengatakan bahwa itu bukan pinjaman kepada DKP, tetapi murni untuk membeli tanah. Menurut dia, Rokhmin yang menyuruh dirinya menyerahkan uang tersebut ke Didi Sadili. Pembelian tanah itu juga atas perintah Rokhmin dengan alasan akan dijadikan tambak percontohan mahasiswa IPB. Namun, ketika ditanya apakah dia menerima tanda terima dan menandatangani surat tanda jual beli tanah, Pigoselpi tampak gugup sebelum mengiyakan jawaban itu.

Saya kesal. Padahal, saya sudah minjemin (ke DKP, Red), saya malah dijadikan saksi, ujarnya dengan nada tinggi, lalu ditenangkan Rokhmin dengan cara menepuk bahunya. Pigoselpi yakin bahwa suaminya bukan koruptor. Sepengetahuan dia, pengeluaran dana nonbujeter DKP selalu ditujukan untuk kepentingan nelayan. Kalau suami saya korupsi, saya yang akan menjebloskan ke penjara, katanya.

Saksi yang lain, akademisi IPB Enang Haris, membeberkan fakta-fakta soal tambak. Tambak yang diklaim untuk percontohan mahasiswa IPB itu sempat mengaitkan mantan Menteri Koperasi dan UKM Alimarwan Hanan dan Mensesneg Hatta Radjasa. Keduanya diduga ikut menyetor ke dana nonbujeter DKP yang bermasalah itu.

Menurut Enang, tambak di Lampung tersebut dimiliki istri Hatta Radjasa, istri Rokhmin, dan istri Alimarwan. Riciannya, tanah 46.315 meter persegi dimiliki Albaniawati Ali Marwan, 45.955 meter persegi dimiliki istri Hatta Oktiniwati Ulfa Dariah, dan 45.775 meter persegi atas nama Pigoselpi. Menurut Pak Rokhmin, kalau bisa, pembagian tanah dengan luas sama untuk ketiga orang itu, ujarnya.

Meski berdalih bahwa tambak itu adalah percontohan yang mempunyai misi membuktikan bahwa bertani udang menguntungkan, Rokhmin tetap saja menuai keuntungan. Menurut Enang, Rokhmin pernah meminta uang dari hasil tambak itu. Empat kali meminta transfer yang jumlah keseluruhannya Rp 205 juta, ungkap pria paro baya itu.

Menanggapi kesaksian Enang, Rokhmin mengatakan bahwa ide dibuatnya tambak berasal dari Hatta Radjasa ketika mereka bertemu dalam sebuah rapat kabinet. Ide itu akhirnya dibicarakan lebih lanjut ketika mereka sama-sama menunaikan ibadah haji pada 2003. (ein)

Sumber: Jawa Pos, 7 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan