Dunia Masih Korup
Haiti dan Irak mendapat rapor terburuk.
Hampir tiga perempat dari 163 negara di dunia menghadapi masalah korupsi yang serius, sedangkan hampir separuhnya terbilang sangat parah. Demikian dicatat lembaga pengawas korupsi dunia Transparency International dalam survei mutakhirnya yang dilansir pada Senin lalu.
Menurut indeks persepsi korupsi yang mereka laporkan setiap tahun, data lembaga itu menunjukkan bahwa pada tahun ini nilai terburuk menimpa negara-negara termiskin di dunia, termasuk hampir semua negara di Afrika, yang mengindikasikan hubungan yang kuat antara korupsi dan kemiskinan.
Penyimpangan menonjol juga terjadi di beberapa negara yang disebut negara gagal--istilah kontroversial untuk menyebut negara yang lemah karena pemerintah pusat praktis hanya mengendalikan sebagian kecil wilayahnya yang besar.
Mereka di antaranya Irak, yang diguncang kekerasan sejak invasi Amerika Serikat pada 2003. Peringkat negara yang pernah dipimpin Saddam Hussein itu melorot dari peringkat ke-137 tahun lalu (dengan nilai 2,2) menjadi peringkat ke-160 atau kedua paling bawah (dengan nilai 1,9) saat ini.
Survei ini memakai skala berdasarkan persepsi tingkat korupsi di mata pengusaha dan analis dengan rentang nilai nol (paling korup) hingga 10 (paling bersih). Nilai itu kemudian menentukan peringkat suatu negara dengan peringkat I sebagai negara paling bersih.
Survei ini memberi kesan bahwa korupsi di Irak sangat buruk, kata Chief Executive Transparency International David Nussbaum kepada Reuters.
Ketika Anda masuk peringkat tinggi kekerasan, tak hanya keamanan yang rusak, tapi juga merusak prinsip saling imbang dan saling mengawasi (checks and balances) serta pemberdayaan hukum dan bekerjanya lembaga seperti kehakiman dan legislatif. Jika semua itu tertekan, langkah pencegahan korupsi pun runtuh, kata Nussbaum.
Menurut lembaga independen yang berbasis di Berlin, Jerman, itu, negara-negara yang nilainya berada di bawah lima mengindikasikan tingkat persepsi korupsi masih serius dihadapi, sedangkan yang nilainya di bawah tiga tergolong mengalami korupsi yang merajalela.
Korupsi telah menjebak jutaan orang dalam kemiskinan, kata Ketua Transparency International Huguette Labelle. Meski sudah satu dekade kemajuan dalam penegakan hukum dan aturan antikorupsi, hasil saat ini mengindikasikan bahwa masih banyak yang harus dilakukan.
Tahun ini rapor paling buruk diterima Haiti, negara termiskin di Benua Amerika, dengan nilai 1,8 dan menduduki peringkat terbontot: ke-163. Sedikit di atasnya adalah Irak, Myanmar, dan Guinea, sebuah negara di Afrika Barat, yang sama-sama meraih nilai 1,9 dan peringkat ke-160.
Haiti masih menderita perang antarkelompok bersenjata, meskipun pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah masuk sesudah tergulingnya bekas Presiden Haiti Jean-Bertrand Aristide pada 2004.
Bangladesh dan Chad, yang menduduki peringkat terburuk dengan nilai 1,7 pada tahun lalu, kini memperbaiki rapor mereka. Keduanya naik ke peringkat ke-156 dengan nilai 2,0.
Semua negara Afrika nilainya di bawah lima, kecuali Botswana (nilai 5,6) dan Mauritius (5,1). Lembaga ini tak melaporkan peringkat negara-negara yang datanya tak cukup tersedia, termasuk Afganistan, Somalia, dan Korea Utara.
Nilai terbaik jatuh pada Finlandia, Islandia, dan Selandia Baru pada peringkat pertama dengan sama-sama mengantongi nilai 9,6. Di bawahnya ada Denmark, Singapura, dan Swedia, yang berturut-turut memperoleh nilai 9,5, 9,4, dan 9,2.
Indonesia berada pada peringkat ke-130 dengan nilai 2,4 bersama Ethiopia, Papua Nugini, Azerbaijan, Burundi, Republik Afrika Tengah, Togo, dan Zimbabwe.
Nilai Indonesia jelas masih di bawah tiga, sehingga tergolong negara dengan persepsi korupsi yang parah. Namun, posisinya sedikit meningkat dari tahun lalu, yang berada di peringkat ke-137 dengan nilai 2,2 bersama Azerbaijan, Kamerun, Ethiopia, Irak, Liberia, dan Uzbekistan.
Namun, posisi Indonesia di Asia Tenggara praktis hanya di atas Myanmar. Semua negara tetangganya berada di atasnya, seperti Timor Leste, Laos, Vietnam, Filipina, dan Sri Lanka.
Dunia tidak tinggal diam terhadap hal ini. Akhir Oktober lalu lebih dari 900 utusan dari 137 negara dan 12 organisasi internasional berhimpun di Cina dan bersepakat mendirikan Perhimpunan Otoritas Antikorupsi Internasional. Jaksa Agung Cina Jia Chunwang terpilih sebagai presidennya. Perhimpunan ini menawarkan program pelatihan profesional dan memfasilitasi penyebaran keahlian serta pengalaman masalah antikorupsi.
Naif bila mengira kita dapat membersihkan seluruh dunia dari korupsi, ujar Direktur Eksekutif pada Kantor Narkotik dan Kejahatan PBB, Antonio Maria Costa, dalam forum itu. Tapi kita pasti dapat mengurangi dampaknya terhadap pemerintah, ekonomi, dan masyarakat kebanyakan.
Menurut dia, korupsi juga harus diperangi dengan perlindungan terhadap saksi, ahli, dan korban. Selain itu, Kita perlu melakukan kerja sama yang lebih besar dalam hal ekstradisi, bantuan hukum bersama, kerja sama pemberdayaan hukum transnasional, dan penyelidikan bersama, katanya.
PBB rencananya pekan ini akan menggelar konferensi tentang undang-undang antikorupsi di Warsawa, Polandia. AP | TRANSPARENCY.ORG | UZREPORT | XINHUA | IWANK
Sumber: Koran Tempo, 9 November 2006