Eddie Tak Tahu Ada Markup
Lebih mahal karena PLN mencicil.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Eddie Widiono mengaku tak mengetahui adanya markup (penggelembungan) proyek pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Borang, Palembang, Sumatera Selatan.
Namun, Eddie mengakui proyek itu dibangun atas persetujuan direksi PLN. Dia juga membenarkan dirinya telah menekan kontrak perjanjian dengan kontraktor pembangkit, yakni PT Guna Cipta Mandiri, pada 28 Juli 2004. Menurut dia, tanda tangan itu merupakan kewenangannya mewakili direksi.
Tapi saya tak tahu ada markup, kata Eddie sebelum diperiksa di Markas Besar Kepolisian RI kemarin malam.
Eddie diperiksa lebih dari enam jam oleh tim penyidik Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI sebagai saksi kasus dugaan korupsi pembangkit truck mounted (pembangkit bergerak) Borang. Kasus ini diduga merugikan negara Rp 122 miliar.
Eddie menjadi saksi atas tersangka Direktur Pembangkitan PLN Ali Herman Ibrahim, Deputi Direktur Pembinaan Pembangkitan PLN Agus Darmadi, serta Direktur Utama PT Guna Cipta Mandiri Johannes Kennedy Aritonang. Ketiga tersangka ditahan di rumah tahanan Markas Besar Kepolisian RI.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, Guna Cipta ditunjuk tanpa tender. Selain itu, kontraknya tidak menyebutkan syarat barang dalam kondisi baru. BPK menilai kontrak senilai US$ 29,5 juta terlalu mahal karena harga pembangkit sejenis hanya US$ 17,9 juta (dua unit). Jika ditambah denda operasi US$ 1,5 juta, selisihnya US$ 13,1 juta atau Rp 112,4 miliar.
Tim penyidik mengajukan 16 pertanyaan, ujar Eddie, yang tampak santai menjawab pertanyaan wartawan. Menurut dia, pertanyaan itu berkisar pada prosedur dan kebijakan, termasuk apakah dirinya kenal dengan ketiga tersangka.
Namun, saat ditanyai mengenai penyimpangan, Eddie mulai mengelak. Menurut Eddie, dia belum ditanyai soal itu. Rencananya, pada 1 Februari, Eddie akan diperiksa kembali.
Dalam pemeriksaan, Eddie didampingi kuasa hukum PLN, Amir Syamsudin. Menurut Amir, Eddie tak mungkin mengelak meneken kontrak yang sudah tersaji, disetujui, dan diputuskan direksi. Dia mengingatkan, proyek ini adalah kebijakan institusi PLN, bukan kebijakan orang per orang. Jadi jangan terburu-buru bicara soal markup.
Amir menekankan, proyek itu dilaksanakan pada kondisi mendesak, yakni pemadaman listrik di Sumatera, kegiatan Pekan Olahraga Nasional, dan Pemilihan Umum 2004.
Kuasa hukum Johannes Kennedy, Ampuan Situmeang, membenarkan barang pembangkit bukan barang baru, tapi juga bukan barang bekas. Itu barang lama yang diperbarukan. Itu juga atas permintaan panitia pengadaan proyek PLN, ujar Ampuan.
Menurut Ampuan, harga US$ 29,5 juta ditentukan karena sistem pembayaran menggunakan cicilan selama 48 bulan. Jadi PLN dikenai beban bunga. ERWIN DARIYANTO | FANNY
Sumber: Koran Tempo, 27 Januari 2006