Efektifkan Pilar-Pilar Pengawasan
Keuangan negara tak pernah sunyi dari kebocoran, mulai tingkat pusat sampai daerah, bahkan sampai di tingkat terbawah seperti kelurahan, di perusahaan-perusahaan negara berstatus BUMN atau BUMD. Bahkan, terjadi juga di sejumlah instansi pemerintahan pusat. Kebocoran karena faktor korupsi, kolusi, atau kekeliruan manajemen sepertinya menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dari penyelengaraan negara. Lalu, bagaimana peran lembaga pengawasan seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)?
Ada, tapi tiada. Barangkali, itulah opini yang tidak berlebihan untuk menilai peran BPK di tengah realitas penyalahgunaan yang terjadi di setiap lembaga publik. Disebut ada, BPK -berdasar pasal 23 ayat 5 UUD 45 serta amandemennya UU No. 17/2003 dan realitas empiris- memang objektif beroperasi. Untuk hal-hal tertentu, BPK mampu menunjukkan giginya.
Namun, peran maksimal yang dilakukan BPK tetap belum mampu memenuhi harapan publik: mencegah kebocoran keuangan negara. Realitas kebocoran itu mengundang tanya, apakah BPK memang kurang maksimal dalam menjalankan fungsinya?
Ada beberapa kondisi objektif yang memaksa BPK memang tampak belum maksimal. Landasannya, pertama, jumlah obyek pemeriksaan yang tercatat besar. Hingga saat ini, ada 1.649 objek pemeriksaan. Perinciannya: 448 pemda (belum termasuk pemda yang akan dimekarkan), 161 BUMN (tidak termasuk anak-anak perusahaannya), 980 BUMD, dan 60 instansi pemerintah. Objek pemeriksaan sebanyak itu jelaslah demikian beragam persoalannya, apalagi karakter para pengelolanya.
Kedua, persoalan waktu yang hanya diberi jatah sekitar enam bulan untuk kepentingan pemeriksaan. Dimensi waktu yang sangat terbatas itu memaksa BPK untuk bekerja secara serabutan. Seprofesional apa pun, keterbatasan waktu yang menimbulkan kondisi buru-buru hanyalah akan menghasilkan kondisi yang tidak akan pernah maksimal. Karena itu, persoalan waktu bagi BPK untuk bekerja haruslah di-review. Landasannya untuk mencapai kerja pemeriksaan yang maksimal.
Sekali lagi, dengan jumlah objek pemeriksaan sebanyak itu dan -di sisi lain- waktu pemeriksaan yang sangat terbatas, sangatlah kecil kemungkinan bagi BPK menjalankan fungsinya sesuai amanat konstitusi. Jika harus dipaksakan, BPK bukan hanya harus kerja ekstrakeras, tapi harus menambah sumber daya manusianya. Persoalannya, apakah langkah itu efektif? Tetap masih diragukan.
Dalam hal itu, ada langkah lain yang relatif bisa memberikan harapan. Seperti kita ketahui, di setiap unit (objek) pemeriksaan, sudah ada tim pengawas internal. Dalam hal ini, sudah saatnya BPK melakukan sinergi dengan tim audit internal itu. Dengan langkah tersebut, tugas pemeriksaan tidak harus menambah (merekrut) tenaga baru. Waktu pemeriksaannya pun boleh dikata sepanjang tahun, semantara hasil maksimalnya bisa diharapkan.
Untuk mewujudkan sinergi tersebut, BPK sebagai pengawas eksternal dan lembaga-lembaga pengawas internal perlu membuat standar yang dapat dilaksanakan bersama-sama untuk kepentingan pemeriksaan. Karena itu, standar pemeriksaan haruslah netral. Untuk mencapainya, perlu bahkan harus melibatkan masyarakat profesi. Di luar proses perumusan sistem itu, kedua pihak -para petugas BPK dan petugas dari tim-tim pengawas internal- perlu menciptakan media atau forum komunikasi yang terorganisasi. Forum seperti ini menjadi penting untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya miskomunikasi. Tapi, yang jauh lebih mendasar dan penting adalah, forum itu dapat dirancang sebagai model kerja konstruktif bagi kedua badan pemeriksa yang - secara rutin, intensif, dan produktif- dapat melakukan peranannya. Intensitas dan produktivitas kerjanya dapat diharapkan untuk mendeteksi gejala penyalahgunaan keuangan negara dan akhirnya mencegah praktik kotor itu.
Pertanyaan yang membayangi ialah apakah tim pengawas dari berbagai unit (objek) pemeriksaan mau diajak kerja sama? Setidaknya, ada dua potret kemungkinan. Pertama, segenap tim pengawas internal yang memang sama-sama terpanggil untuk mengamankan keuangan negara. Kelompok ini bukan hanya merespons positif atas langkah sinergi kedua lembaga pemeriksa, tapi juga akan maksimal dalam menjalankan tugasnya.
Kelompok pengawas internal itu biasanya dinilai melawan arus bagi teman-teman sekerjanya. Inspektorat pengawasan internal itu tidak disukai karena dinilai sebagai mata-mata bagi lembaga atau badan yang jadi objek pemeriksaan.
Para kontrarian audit menyadari pentingnya keberadaan unit audit internal dan diperlukan, tapi sebatas formalitas (memenuhi unsur dalam struktur dan ukuran publik), bukan fungsi yang implementatif. Dengan demikian, kepentingannya lebih bersifat politis, bukan kemanfaatan praktis.
Kalangan pimpinan tertentu lembaga atau badan yang menjadi objek pemeriksaan justru akan berusaha melakukan kooptasi. Dia merangkul para tim pemeriksa internal. Tentu terkait dengan sejumlah kompensasi finansial atau fasilitas menarik lainnya. Manakala konspirasi itu terbangun, maka -sebagai kemungkinan kedua- BPK bukan hanya kehilangan mitra, tapi akan mendapat perlawanan secara sistematis dari tim pengawas internal. Hal itu akan berdampak pada tumpulnya sinergisitas pengawasan dan pemeriksaannya. Potret resistensi tim pengawas internal tersebut -perlu kita catat- sebagai kendala utama BPK.
Cerita tentang perlawanan tim audit internal -setidaknya oleh dua kekuatan gabungan antara tim audit internal dan pimpinan lembaga atau badan yang menjadi objek pemeriksaan- cukup faktual. Persekongkolan mereka bukan hanya mempersulit gerak BPK, tapi juga bersikap jauh lebih sadis. Sekadar ilustrasi, ada karyawan BPPN -beberapa bulan sebelum dibubarkan- banyak mengkritisi persekongkolan sistematis bosnya yang merugikan uang negara ratusan miliar, bahkan mencapai triliunan.
Nasib pemuda kritis yang bernama Gatot bukan hanya harus rela keluar dari BPPN, tapi juga dikejar-kejar, meski sikap kritisnya mendapat restu dari pihak lain yang sejalan dengan kepentingan anti penyalahgunaan uang negara, yaitu Kwik Kian Gie, mantan ketua Bappenas. Jika Allah menghendaki, tentu nyawa sang pemuda itu telah melayang.
Ilustrasi faktual itu menggambarkan tidak mudahnya membangun sistem sinergi pengawasan meski masing-masing aktor dari pejabat publik menyadari makna penting pemerintahan yang bersih (tidak korup). Yang teramat penting dari fenomena yang terjadi di BPPN dan hal serupa pasti terjadi juga di lembaga atau badan-badan yang menjadi objek pmeriksaan -meski tidak sama persis- ialah presiden mengambil langkah yang jauh lebih tegas. Yaitu, menindak siapa pun dari tim audit internal yang bersekongkol dengan pemimpinnya yang jelas-jelas melawan hukum seperti korupsi.
Di sisi lain, presiden perlu memberikan perlindungan hukum yang nyata terhadap siapa pun yang berusaha membantu proses pemeriksaan yang efektif.
Akhirnya, efektivitas dari sinergisitas antara tim audit eksternal (BPK) dan audit internal sangat bergantung pada tekad presiden. Bagi presiden -sebagai pihak yang bertanggung jawab juga terhadap masalah pengelolaan uang negara- tak ada kata lain kecuali harus menertibkan para pihak (instansi-instansi pemerintahan), pemda, BUMN, dan BUMD yang terlihat menghalangi pemeriksaan, termasuk pihak yang menjalankan audit internal. Arahnya agar semua pilar pengawasan mudah diefektifkan dan manfaatnya kian terasa bagi kepentingan publik. (Endin A.J. Soefihara, anggota Komisi XI DPR RI)
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 25 Februari 2005