Ekonom Econit:

 Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa saat lalu menyisakan pertanyaan: benarkah harga BBM harus naik? Benarkah kenaikan harga BBM diakibatkan oleh krisis ketersediaan cadangan minyak? Ataukah terkait-kait dengan fluktuasi harga minyak dunia? Bagaimana dengan Indonesia sendiri, mungkinkah krisis yang terjadi disebabkan oleh penyimpangan dalam pengelolaan indusri minyak? Menurut kajian ICW atas hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan pemerintah serta praktek bisnis pengolahan minyak (Kontrak Kontraktor Kerjasama Minyak) dan hasil Penelitian serta Perhitungan terhadap Penerimaan minyak bumi tahun 2000 - 2007, ditemukan indikasi penyimpangan dalam penerimaan minyak indonesia sebesar Rp.228,096 triliun. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Norman Sanjaya dari antikorupsi.org melakukan wawancara via telepon dengan staf ECONIT, Hendri Saparini. Berikut adalah petikan wawancaranya.

Faktor apa yang lebih dominan penyebab krisis minyak dunia?

Saya rasa penyebabnya bukan karena konsumsi, artinya kalau kita lihat 2007 – 2008, para konsumen minyak terbesar justru mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, baik itu Amerika, India maupun Cina, tetapi yang terjadi justru harga minyak meningkat. Kalau demikian, berarti bukan diakibatkan oleh demand-nya yang meningkat. Berarti ada demand yang digunakan bukan untuk konsumsi, misalnya digunakan untuk spekulasi. Karena ini ada likuiditas yang luar biasa di pasar global, maka untuk melakukan investasi langsung juga peluangnya kecil karena pertumbuhan ekonomi di Amerika mengalami perlambatan di sisi lainnya. Akhirnya banyak data-data yang digunakan untuk spekulasi pada produk-produk strategis termasuk minyak. Juga akan berkembang pada produk pertanian lainnya yang strategis.

Di tengah kondisi seperti ini langkah kebijakan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah?

Kita kan sudah tahu bahwa sebenarnya trend kenaikan harga minyak mentah sudah terjadi sejak awal 2007, tetapi dalam APBN 2008 asumsinya sangat rendah hanya 60 triliun. Seharusnya pemerintah segera mengoreksi APBN 2008 karena dapat menimbulkan ketidak pastian.

Lantas apa sih yang harus dilakukan pemerintah?

Permasalahan harga minyak berdampak pada ekonomi nasional. Ekonomi nasional itu APBN, ekonomi rumah tangga dan ekonomi industri. Kalau akan menyebabkan dampak negatif dari kenaikan harga minyak dunia pada ekonomi nasional, pastinya harus ada yang diselamatkan. Tidak hanya APBN saja, bahwa APBN itu sangat strategis memang benar. Karena ini akan menjadi benchmark kinerja ekonomi suatu negara.

Harus kita pahami APBN itu kan hanya 20 persen, sementara kita punya 80 persen untuk industri dan rumah tangga. Oleh karena itu langkah yang harus dilakukan jangan menaikan harga BBM karena akan berpengaruh pada 80 persen ekonomi nasional. Untuk tidak menaikan harga minyak maka harus diselesaikan satu demi satu. Termasuk mengalihkan pembangkit listrik dari BBM ke energi lain seperti batu bara.

Secara berkala harus ada program penyelamatan jangka pendek dan jangka menengah agar beban APBN tidak meningkat. Jangka pendeknya, banyak cara-cara yang bisa dilakukan untuk melakukan re-alokasi anggaran. Kemudian inilah yang akan mengurangi beban APBN tanpa harus menambah beban 80 persen ekonomi yang lainnya. Untuk jangka menengah yang harus dilakukan adalah dengan mengoreksi tata niaga migas nasional sehingga beban terhadap APBN di dalam perhitungan subsidi dan sebagainya akan menurun. Karena sekarang ini pemerintah harus membayar mahal dalam memproduksi BBM. Kemudian yang kedua, kita tahu selain subsidi BBM, beban APBN adalah subsidi listrik. Untuk mengurangi subsidi listrik mestinya PLN didorong untuk mengganti sumber energinya dari BBM ke gas, karena kita punya banyak sekali gas. Problemnya sebagian gas kita sudah dijual dengan kontrak jangka panjang dan harga yang murah. Oleh karena itu untuk jangka menengah ini pemerintah harus melakukan revisi terhadap kontrak-kontrak penjualan gas dan harus diutamakan untuk kepentingan nasional. Begitu juga dengan batu bara, sekarang ini dilakukan mekanisme pasar untuk pembelian batu bara oleh PLN sehingga tidak memungkinkan PLN mengganti BBM dengan gas maupun batu bara. Dan dalam jangka waktu menengah pemerintah harus membenahi penyediaan batu bara bagi PLN.  

Sejauh mana transparansi dan akuntabilitas pengelolaan industri migas nasional?

Hampir semua orang sudah tahu dan bukan rahasia umum lagi bahwa pengelolaannya sangat tertutup, kepentingannya sangat banyak, baik kepentingan kekuasaan maupun para pengusaha-pengusaha besar. Oleh karena itu dengan hak angket diharapkan dapat membongkar semua. Kalau yang dilakukan lifting itu adalah sumur yang sama maka semestinya angkanya juga angka yang sama, baru dari sisi produksi dan sebagainya. Misalnya sekarang kalau kita mau melaksanakan perhitungan jumlah produksi dengan menggunakan real mind nya itu pun sampai sekarang tidak dilakukan padahal itu teknologi yang sangat sederhana dan hampir semua negara melakukannya.

Bagaimana anda melihat program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dianggap pemerintah sebagai  solusi untuk mengatasi  dampak  kenaikan harga BBM?

BLT itu bukan solusi, itu kan sebenarnya --seperti diakui oleh pemerintah-- hanya mengurangi beban dari masyarakat. Artinya tidak mengkompensasi beban yang muncul akibat kenaikan BBM. Pemerintah mengambil lebih banyak dari pada yang diberikan kembali kepada masyarakat. Kita bisa bayangkan dengan kenaikan BBM 28,7 persen hanya memberikan penghematan secara finansial sekitar 30-35 trilyun. Tetapi ongkos ekonomi yang harus diderita oleh ekonomi nasional kita jauh lebih besar dari 35 trilyun. Kemudian dari situlah kenaikan harga BBM akan menekan pertumbuhan ekonomi, menekan daya saing industri kemudia mendorong adanya pengurangan tenaga kerja oleh perusahaan dan sebagainya.

Pemerintah terlalu menyederhanakan bahwa BLT ini adalah program kompensasi, kalau kompensasi itu mestinya mengambil seratus mengembalikan seratus tetapi ini kan tidak setara. Pemerintah itu hanya menghitung berapa yang dihemat oleh pemerintah dari kenaikan harga BBM. Penghematan APBN itu katanya sekitar 35 trilyun, tapi ini kan baru penghematan finansial. Bagaimana dengan ongkos ekonomi yang ditimbulkan?

Sejauh mana anda melihat efektifitas dari program BLT?

Saya rasa kalau pemerintah sudah mengakui bahwa BLT yang sudah dilakukan sekarang ini bukan sebuah desain baru, tetapi mengcopy BLT 2005 yang kita ketahui banyak sekali yang salah sasaran. Kemudian di 2008 ini jika banyak pihak yang meragukan efektifitas BLT itu adalah hal yang wajar.

Bagaimana anda melihat nilai seratus ribu rupiah dalam program BLT?

Saya ingin mengatakan sebenarnya ini bukan wilayah kita untuk mendiskusikan BLT, karena BLT bukan solusi. Kita tahu bahwa kita belum memiliki mekanisme efektif dan efesien untuk menyalurkan bantuan-bantuan semacam ini. Kita belum pernah melakukan proyek percontohan mana yang paling tepat untuk menyalurkan misalnya. Tapi ini kan seperti diakui oleh pemerintah, yang tidak punya waktu sehingga apa yang dilakukan pada 2005 dilanjutkan. Lalu pertanyaannya adalah selain database orang miskin yang tidak memperhatikan orang miskin baru di 2008, ini juga tidak bisa menjelaskan dari mana angka seratus ribu per keluarga/ bulan. Ini artinya yang penting dikasih untuk meringankan, bukan mengkompensasi. [Norman Sanjaya-Lais Abid]

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan