Ekonom Kritik RUU RN; Dewan Rahasia Negara Terlalu Gemuk
Ekonom Faisal Basri mengkritik rumusan Pasal 4 Butir (d) draf Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara atau RUU RN tentang rahasia negara di bidang ketahanan ekonomi nasional sebagai suatu bentuk aturan hukum yang tidak masuk akal. Ia menilai perumusnya tidak memahami masalah ekonomi.
Pernyataan tersebut disampaikan Faisal, Sabtu (7/10), saat dihubungi per telepon. Menurut dia, mekanisme pasar dalam perekonomian justru menuntut adanya keterbukaan. Kondisi seperti itulah yang membedakan persoalan ekonomi dengan isu lain, seperti masalah pertahanan, keamanan, dan militer.
Kerahasiaan bidang pertahanan, keamanan, dan militer berbeda konteks dan konsepnya dengan kerahasiaan bidang ekonomi. Dalam ekonomi kuncinya justru keterbukaan dalam mekanisme pasar. Semakin besar informasi yang dimiliki pelaku ekonomi akan semakin menciptakan spekulasi yang menstabilkan, ujar Faisal.
Faisal mengaku merasakan adanya itikad tidak baik dari otoritas pemerintah terkait pembuatan aturan seperti itu. Aturan seperti itu akan berpengaruh buruk bagi iklim perekonomian Indonesia di masa mendatang begitu aturan perundang-undangan tersebut diberlakukan.
Dalam penjelasan Pasal 4 Butir (d) RUU RN disebutkan, rahasia negara di bidang ketahanan ekonomi nasional antara lain termasuk ketahanan ekonomi bidang moneter, seperti jumlah intervensi Bank Indonesia terhadap pasar untuk menjaga kestabilan rupiah.
Selain itu, untuk bidang fiskal dicontohkan seperti terkait dengan penerimaan dan pengeluaran di bidang pasar modal, perpajakan, bea dan cukai. Adapun terkait bidang industri dan perdagangan, kerahasiaan negara mencakup hal-hal seperti komoditas yang masih dalam pengaturan dan pengawasan.
Menurut Faisal, semakin banyak hal yang dirahasiakan justru akan semakin merugikan pelaku pasar dan hanya akan menguntungkan elite tertentu yang memegang rahasia tadi. Faisal menilai sejumlah poin yang dicantumkan sebagai contoh terkait dengan konteks rahasia negara di bidang ketahanan ekonomi adalah sesuatu yang aneh.
Tidak pernah ada yang namanya cadangan devisa, penerimaan negara, atau penerimaan pasar modal sebagai sesuatu yang rahasia. Semua orang bisa menghitung hal-hal tersebut dengan mudah. Apa memangnya nanti semua orang itu mau dimasukkan penjara karena itu? ujar Faisal.
Lebih lanjut saat dihubungi di tempat terpisah, pengamat politik dari LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, menyoroti keberadaan Dewan Rahasia Negara, yang dalam RUU RN bertugas menentukan kebijakan soal rahasia negara, termasuk di antaranya berwenang menyatakan adanya kebocoran dan langkah untuk menangani itu serta kewenangan memperpanjang masa retensi.
Menurut Ikrar, keanggotaan dewan tersebut, baik tetap maupun tidak tetap, terlalu gemuk karena dalam Pasal 25 draf RUU RN terakhir setidaknya mereka terdiri dari lima menteri, Panglima TNI, Kepala Polri, Jaksa Agung, Kepala BIN, Kepala Arsip Nasional RI, dan Kepala Sandi Negara (anggota tetap).
Semakin banyak pihak yang terlibat, maka dikhawatirkan apa yang mereka bahas semakin tidak ada yang bisa dirahasiakan lagi. Bagaimana bisa disebut rahasia kalau sudah banyak pihak yang tahu. Belum lagi kalau ada terlalu banyak kepentingan politik yang terkait di dalamnya, ujar Ikrar. (DWA)
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2006