Ekonomi Maju, Walau Sempat Tersendat
Ekonomi ditimpa krisis yang memangkas produk domestik bruto (PDB)-nya sekitar 13 persen pada 1998. Presiden Soeharto, yang memerintah selama 32 tahun, jatuh. Tapi zaman itu mampu menghasilkan laju pertumbuhan PDB rata-rata sekitar 7 persen setahun. Laju pertumbuhan setinggi demikian mengangkat besar PDB dua kali setiap sepuluh tahun. Artinya, selama tiga puluh tahun PDB Indonesia terangkat delapan kali dalam ukuran riil.
Pengaruhnya terhadap PDB per kapita masih bergantung pada laju pertumbuhan penduduk. Kalau laju pertumbuhan penduduk 1,5 persen setahun, setiap tahun pendapatan per kapita naik 5,5 persen, dan doubling time sekitar 72 : 5,5 = 13 tahun. Artinya, setelah 13 tahun pendapatan per kapita naik dua kali, dan setelah 26 tahun naik empat kali. Maka selama zaman Orde Baru naiknya sekitar lima kali.
Semua ini hanya perhitungan yang sangat kasar karena angka-angka yang dipakai tidak terlalu tepat. Tapi, bahwa selama masa Orde Baru pendapatan per kapita bangsa Indonesia naik sekitar lima kali, bisa diterima kebenarannya. Artinya, kalau pada permulaan kurun waktu itu pendapatan per kapita sekitar US$ 200 setahun, pada akhir kurun waktu itu sekitar US$ 1.000 per kapita setahun. Indonesia sempat melewati garis kemiskinan sebelum jatuh di bawahnya lagi karena krisis 1998.
Apa artinya maju tapi sesekali tersendat? Sebetulnya yang lebih tepat adalah istilah Inggris muddling through, yang lebih plastis. Setelah keluar dari krisis yang mendalam pada 1998, mulai tahun 2000 ekonomi Indonesia sudah tidak mengalami kontraksi lagi, tapi laju pertumbuhannya lamban.
Suatu deretan proyeksi dari IMF menggambarkan bahwa laju pertumbuhan PDB Indonesia pada 2003 adalah 4,5 persen, pada 2004 sebesar 5 persen (angka realisasinya 5,13 persen), untuk tahun 2005 IMF memperkirakan laju pertumbuhan 5,5 persen (angka pemerintah sekarang lebih optimistis, yakni sekitar 6 persen), untuk tahun 2006 6 persen, tahun 2007 6,0 persen, tahun 2008 6,2 persen, dan untuk tahun 2009 6,3 persen.
Angka-angka perkiraan IMF mudah-mudahan tidak benar. Deretan itu lebih mencerminkan citra perkembangan ekonomi Indonesia di mata IMF. Di pihak lain, pemerintah jauh lebih optimistis dan memperkirakan pada akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2009) angka pertumbuhan 7,6 persen bisa dicapai.
Tapi IMF pun memperkirakan bahwa ekonomi Indonesia akan mengalami kemajuan, walaupun sedikit demi sedikit, dari tingkat 5 persen menuju 6 persen setahun dan lebih. Pemerintah cq Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional mengharapkan bisa mencapai 7 persen setahun.
Ada perbedaan besar antara tiga angka pertumbuhan ekonomi, yakni 5, 6, dan 7 persen setahun. Kalau laju pertumbuhan PDB hanya 5 persen setahun, sudah lumayan sebagai kinerja ekonomi, tapi tidak cukup untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Untuk yang akhir ini diperlukan laju pertumbuhan 7 persen setahun.
Maka pertanyaannya adalah apakah Indonesia punya potensi meraih laju pertumbuhan ekonomi 7 persen setahun dari landasan 5-6 persen setahun. Sebab, selama tiga dasawarsa laju pertumbuhan 7 persen rata-rata telah diraih, lalu mengapa tidak bisa dicapai kembali?
Kinerja ekonomi yang menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi antara lima dan enam persen setahun itu sudah punya dasar yang baik, yakni keadaan ekonomi makro yang stabil. Stabil berarti inflasi tidak tinggi dan laju pertumbuhan ekonomi semakin mantap.
Stabilitas makroekonomi ini menjadi hasil dari kebijakan ekonomi sejak pemerintahan Megawati Soekarnoputri, terutama yang dijalankan oleh Menteri Keuangan Boediono. Mulai zaman Presiden Habibie, Bank Indonesia tidak dibebani lagi fungsi ganda (antara lain sebagai motor pembangunan). Fungsi tunggalnya adalah menjaga nilai rupiah (sasaran antiinflasi) dan Bank Indonesia tidak lagi di bawah pemerintah dan bisa diperintah Menteri Keuangan.
Untuk kebijakan fiskal, prinsip operasional adalah berangsur-angsur menurunkan besar defisit anggaran belanja sampai nol persen dari PDB. Sekarang masih sekitar satu persen PDB. Defisit APBN juga harus bisa dibiayai dengan cara-cara yang noninflator (artinya tidak boleh mencetak uang), dengan pinjaman dalam dan luar negeri dan dengan hasil penjualan aset negara.
Maka sebagai sasaran jangka menengah inflasi diturunkan sampai sekitar 3 persen setahun (tahun ini masih sekitar 7-8 persen). Cadangan devisa negara juga harus berangsur-angsur naik. Sasaran-sasaran makroekonomi ini sudah baik sekali untuk Indonesia, tapi dibandingkan dengan negara tetangga, misalnya Malaysia, Thailand, dan Cina, masih kalah (stabil).
Kalau keadaan makroekonomi sudah cukup stabil, mengapa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia belum bisa menyamai Malaysia dan Thailand, yang juga mengalami krisis pada 1998? Malaysia dan Thailand sudah pulih dari keterpurukan krisis dan laju pertumbuhan ekonominya sudah bisa melewati 6 persen setahun, bahkan sesekali bisa meraih 7 persen.
Perbedaan besar antara Indonesia di satu pihak dan Malaysia dan Thailand di pihak lain adalah krisis di Indonesia merupakan krisis keuangan, ekonomi, dan politik. Di Malaysia dan Thailand, krisisnya bukan merupakan krisis (kepemimpinan dan rezim) politik. Indonesia sampai sekarang masih bergulat untuk menata sistem politik dan sosialnya. Indonesia sedang membayar biaya demokrasi.
Indonesia masih belum keluar dari masa transisinya. Sistem politiknya sudah cukup demokratis. Ada pemilihan umum yang bebas dan langsung, ada sistem multipartai yang tidak dikuasai oleh satu partai, eksekutif berdiri sama tinggi dengan legislatif, dan bagian yudikatifnya juga cukup independen dari pemerintah.
Namun, secara sosial, semua itu masih terlalu diracuni oleh penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme. Korupsi menjadi semacam budaya dan ini sudah dimulai dari zaman Orde Baru. Korupsi juga terjadi di Malaysia dan Thailand, tapi tidak terlalu menghalang-halangi pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, korupsi menjadi bagian dari langkanya kepastian hukum dan menjadi penghalang besar bagi investasi besar, terutama investasi asing.
Di bidang ekonomi, kurangnya investasi ini menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi belum bisa melintasi 6 persen setahun. Sebelum krisis, besar investasi nasional (gross) adalah sekitar 30 persen PDB, termasuk kontribusi penanaman modal asing dan kredit dari luar negeri.
Sekarang, menurut perkiraan IMF, gross investments baru sekitar 20 persen PDB. Tabungan nasional (gross) sebetulnya sudah meningkat sampai sekitar 22 persen, tapi sampai tahun ini masih ada modal yang keluar (capital outflow) yang tampak pada neraca berjalan yang positif.
Sebelum krisis, neraca berjalan ini negatif, artinya ada modal masuk (capital inflow) yang cukup besar. Modal ini menjadi takut setelah krisis dan ditarik kembali oleh para kreditor. Penanam modal asing pun lebih banyak mentransfer keuntungannya keluar daripada mengadakan investasi baru atau tambahan.
Selama iklim investasi belum terlalu baik kembali, laju pertumbuhan ekonomi juga belum bisa meraih 7 persen setahun. Investasi pemerintah kurang bisa diandalkan karena sangat terbatasnya anggaran belanja pemerintah. Kurang baiknya iklim investasi untuk swasta ada kaitannya dengan masa transisi politik yang belum mereda di bidang sosial dan (penegakan) hukum.
Investor, terutama asing, mengeluhkan masih kurang adanya kepastian hukum dan kepastian kebijakan, nasionalisme ekonomi yang meningkat, dan kurang terjaminnya hukum dan tatanannya. Kalau orang asing melihat TV Indonesia, yang mengesankannya adalah maraknya demonstrasi, buruh mogok menuntut perbaikan nasib, gerakan Islam politik yang sangat militan, dan sebagainya.
Di Singapura, Malaysia, dan Thailand, keadaan sosial dan politik lebih tenteram. Para investor sekarang ada pilihan pergi ke Vietnam atau Cina, ketimbang Indonesia. Kalau mau berinvestasi di ASEAN, pilihannya Bangkok atau Kuala Lumpur. Syukur pasar dalam negeri sangat potensial sehingga selalu ada penanaman modal asing dari Jepang dan Korea (belakangan juga dari Cina) yang bertaruh di Indonesia untuk jangka waktu yang lebih panjang. Tapi arus investasi belum optimal.
Besaran yang perannya juga strategis adalah ekspor. Kalau laju pertumbuhan ekonomi mau mencapai 7 persen setahun, laju pertumbuhan ekspor harus di atas 10 persen setahun. Sebelum 1997 sudah dicapai, tapi sejak krisis, laju pertumbuhan ekspor melamban. Belakangan ini (Januari-Februari) sudah membaik.
Kenaikan ekspor (nonmigas) lebih bergantung pada ekspor hasil manufaktur daripada komoditas primer (yang sudah mulai jenuh). Hasil manufaktur yang mampu ekspor adalah yang kandungan teknologinya cukup tinggi (untuk meningkatkan kualitas dan daya saing internasionalnya). Teknologi demikian masih harus datang dari luar, sering dalam bentuk penanaman modal asing atau hasil aliansi strategis antara penanam modal dalam negeri dan mitra asingnya. Beberapa perusahaan multinasional Jepang (Toyota dan Suzuki) dan Korea Selatan (Samsung dan LG) sudah mengekspor berbagai produk dan komponen.
Tercapainya sasaran pemerintah Yudhoyono-Kalla di bidang ekonomi sangat bergantung pada bisa-tidaknya memperbaiki iklim investasi ini. Lebih banyak pekerjaan politik, hukum, dan keamanan daripada ekonomi. Apakah bisa diharapkan? Potensinya ada dan sangat mungkin bisa diraih. Tapi tidak dalam waktu pendek, satu tahun.
Sementara itu, pengelolaan ekonomi makro dan mikro senantiasa harus dicermati karena kadang-kadang ada kelemahan yang membuat proses tersendat, seperti di waktu belakangan ini yang membuat kurs rupiah melemah. Fundamental ekonomi tetap baik dan cadangan devisa masih naik sedikit. Apakah ada kelalaian pada kebijakan moneter yang menjadi tanggung jawab Bank Indonesia?
Peredaran uang primer sempat melewati batas aman, sehingga menyebabkan excess liquidity. Tingkat bunga dalam negeri menjadi terlalu rendah dan menjadi negatif dalam ukuran riil dan, karena itu, dana keluar dari rekening rupiah di bank dalam negeri dan pindah ke (bank) luar negeri. Walaupun migas menghasilkan banyak devisa, Pertamina tidak bisa menggunakannya untuk impor, sehingga pembelian devisanya di pasar umum valuta asing sempat melemahkan rupiah. Syukur semua ini sudah bisa diatasi.(M. Sadli, Mantan Menteri Pertambangan)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 2 Mei 2005