Eks Hakim MK Dukung Awasi Para Hakim MK
Wacana untuk mengawasi para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mendapat dukungan. Kali ini, yang mendukung adalah Maruarar Siahaan, mantan hakim di mahkamah tersebut. Dia beralasan, kekuasaan MK yang absolut bisa membuat lembaga pimpinan Mahfud M.D. itu menyimpang.
Semua putusan MK, kata dia, bersifat final dan mengikat. Putusan di MK adalah peradilan tingkat pertama dan terakhir. Artinya, tanpa melalui banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK), putusan di MK sudah inkracht alias berkekuatan hukum tetap.
Padahal, tak ada yang mengawasi lembaga tersebut. ''Ingat, the power tends to corrupt, the absolute power corrupt absolutely,'' ujarnya saat ditemui di Hotel Kartika Chandra kemarin (14/8).
Apalagi, kata Maruarar, Mahfud M.D. pernah mengakui bahwa sejumlah pasangan calon pilkada yang beperkara di MK sempat berusaha menemui dirinya. Dia sempat ditawari sejumlah duit, bahkan hak pengelolaan hutan (HPH). Mahfud menegaskan menolak tawaran itu. Namun, dia tak menjamin bahwa penolakan serupa dilakukan hakim konstitusi lainnya. ''Apalagi seperti itu. Sudah jelas, memang harus ada pengawasan,'' ujar Maruarar.
Lelaki kelahiran Tanah Jawa, Sumatera Utara, itu menambahkan, hakim MK memiliki banyak latar belakang. Mulai latar belakang politik hingga akademis. Hal itu, kata dia, sangat berpotensi memengaruhi putusan-putusan yang dibuat. Dengan adanya lembaga pengawas, kredibilitas MK di masyarakat akan tetap terjaga.
Sejumlah hakim konstitusi di MK memang berasal dari unsur partai politik. Misalnya, Ketua MK Mahfud M.D. yang dulu berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), hakim konstitusi Hamdan Zoelva dari Partai Bulan Bintang (PBB), dan Akil Mochtar dari Partai Golkar.
Sejatinya, Komisi Yudisial (KY) sempat menjadi lembaga pengawas para hakim konstitusi. Namun, MK membatalkan pasal-pasal pengawasan dalam Undang-Udang KY pada 2006.
Menanggapi hal tersebut, hakim konstitusi Akil Mochtar menganggap tak perlu ada lembaga pengawas bagi para hakim MK. Menurut dia, pengawasan yang paling efektif justru pengawasan langsung dari publik. Yakni, media massa dan masyarakat yang bisa mengakses langsung semua putusan serta kebijakan MK, baik melalui situs resmi maupun datang langsung ke MK. ''Tapi kalaupun ada, silakan saja. Tapi, kan kita nggak usah latah-latahan lah,'' katanya.
Akil mencontohkan lembaga negara seperti presiden dan DPR. Dua lembaga itu, kata dia, juga tak memiliki lembaga pengawas. ''Apa DPR diawasin, apa presiden diawasin? Sebagai lembaga negara, nggak ada pengawas presiden. DPR siapa? Badan Kehormatan DPR, bukan pengawas itu,'' tegasnya.
Lagi pula, menurut dia, tidak terlalu susah mengawasi hakim MK. Sebab, jumlahnya hanya segelintir. Hanya sembilan hakim. (aga/c5/kum)
Sumber: Jawa Pos, 15 Agustus 2010