Eksistensi Pengadilan Tipikor Terancam
DPR dan pemerintah sepakat pengadilan Tipikor sebagai subordinat peradilan umum.
HARAPAN publik agar materi Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) dapat memperkuat pengadilan Tipikor diperkirakan akan pupus. Pasalnya, Panitia Kerja (Panja) DPR dan pemerintah telah sepakat memosisikan Pengadilan Tipikor sebagai subordinat peradilan umum.
Pengadilan Tipikor yang rencananya akan dibentuk di 33 provinsi juga akan menempatkan hakim karier lebih dominan daripada hakim ad hoc (nonkarier).Seleksi hakim karier di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi pun lewat seleksi yang digelar Mahkamah Agung (MA). Sementara seleksi hakim ad hoc di tingkat kasasi di MA melibatkan Komisi Yudisial (KY).
Demikian kesimpulan dari jawaban Ketua Panja RUU Pengadilan Tipikor Arbab Paproeka kepada Jurnal Nasional, kemarin (31/8).
Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu mementahkan usulan sejumlah aktivis dan pemerhati antikorupsi jika pembentukan Pengadilan Tipikor cukup di 5 region (daerah) justru akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
"Saya tidak tahu dasar pemikiran mereka. Tetapi kalau itu ditetapkan di lima wilayah, itu sama saja langkah mundur pemberantasan korupsi."
Dia membayangkan, jika kasus korupsi di wilayah Indonesia Timur hanya ada di makassar, maka proses penegakan hukum kasus korupsi yang terjadi di Maluku akan sangat sulit dilakukan.
Ditanya mengenai komposisi hakim Tipikor, Arbab menyatakan, jika majelis hakim terdiri lima orang, maka hakim ad hoc berjumlah dua, dan tiga hakim karier. Komposisi hakim ad hoc yang lebih sedikit daripada hakim karier, kata dia, karena akan kendala rekrutmen yang akan dilakukan lewat Panitia Seleksi (Pansel) yang dibentuk MA.
Arbab menambahkan, pemerintah dan DPR pada dasarnya merespons putusan Mahkamah Konstitusi yang membatal Pasal 53 UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, putusan MK mengamanatkan tidak boleh ada dualisme peradilan dalam pemberantasan korupsi. "Karenanya, Pengadilan Tipikor berada dalam lingkup pengadilan umum," ujarnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah menilai menilai logika pembuat kebijakan tersebut justru bertentangan dengan putusan MK. Dia mencontohkan pasal mengenai tempat dan kedudukan Pengadilan Tipikor yang dibentuk di 33 provinsi.
"Putusan MK itu ingin Pengadilan Tipikor, bukan menjadi kamar di pengadilan umum. Tetapi menjadi peradilan khusus," kata Febri.
Dia juga menilai, pembentukan pengadilan Tipikor di 33 provinsi juga pemborosan keuangan negara hingga Rp65,88 miliar. Sementara jika hanya di lima region, biaya yang dikeluarkan negara untuk Pengadilan Tipikor hanya Rp12,12 miliar.[by : M. Yamin Panca Setia]
Sumber: Jurnal Nasional, 1 September 2009