Enam Pasal Ekstradisi Masih Alot
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Zulkarnain Yunus mengungkapkan, pembahasan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura masih berlangsung alot. Terutama menyangkut enam pasal tentang pengertian dan jenis kejahatan.
Itu sudah menyangkut pasal-pasal krusial, kata Zulkarnain Yunus dalam rapat kerja bersama Komisi Hukum DPR di Jakarta kemarin. Hal ini, kata dia, karena dua negara menganut sistem hukum yang berbeda. Indonesia menggunakan sistem hukum Kontinental warisan Belanda. Adapun Singapura mewarisi sistem hukum Anglo Saxon dari Inggris.
Meski ada perbedaan pandangan, kata Zulkarnain, proses pembahasan masih berjalan dengan teratur. Indonesia dan Singapura sama-sama mempelajari perbedaan sistem hukum masing-masing. Kedua negara punya kesepakatan kuat sepanjang proses pembahasan perjanjian ini berlangsung, ujarnya.
Zulkarnain mengatakan, dalam pertemuan para menteri se-Asia Tenggara (ASEAN) beberapa waktu lalu, telah disepakati adanya pembentukan perjanjian ekstradisi di antara negara anggota ASEAN. Jadi tidak hanya soal Singapura, tapi juga seluruh negara di ASEAN, katanya.
Terkait dengan pemulangan aset koruptor di luar negeri, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Abdul Gani Abdullah mengatakan, sebenarnya Indonesia sudah memiliki payung hukum yang cukup. Bukti berupa dokumen dan saksi sudah bisa disidik oleh aparat kita secara langsung, katanya.
Payung hukum yang akan disahkan DPR besok, dia menyatakan, adalah soal upaya penyelidikan, penyidikan, dan tuntutan aparat hukum Indonesia yang bekerja sama dengan aparat negara ASEAN, termasuk Singapura. Tapi, kalau ekstradisi orangnya, menunggu perjanjian ini selesai, ujarnya.
Upaya penyidikan hingga penuntutan bisa dilakukan dengan kedatangan aparat ke negara yang bersangkutan. Bisa juga memeriksa saksi melalui telekonferensi antarnegara. Dari sini bukti untuk menarik kembali aset bisa kita peroleh, katanya. YOPHIANDI
Sumber: Koran Tempo, 7 Februari 2006