Enggan Melapor, Aturan Pelaporan Gratifikasi Tak Jelas
Berdasar aturan, para pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus melaporkan setiap gratifikasi yang mereka terima kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sayang, para pejabat terkesan enggan mematuhi aturan tersebut. Berdasar data di KPK, mulai Januari hingga April 2010, hanya 92 pejabat negara se-Indonesia yang bersedia melaporkan gratifikasi.
''Semua penyelenggara negara di Indonesia wajib melaporkan harta gratifikasi ke KPK. Tapi, hingga saat ini, jumlah pihak yang melapor sangat sedikit. Malah, ada beberapa provinsi yang tidak melaporkan gratifikasi,'' kata Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (24/7).
Dia menambahkan, 45 di antara 92 laporan gratifikasi itu telah ditetapkan status gratifikasinya. Di antara 33 provinsi di Indonesia, 92 laporan tersebut berasal dari 14 provinsi. Sementara itu, di 19 provinsi lain, belum ada pejabat yang melaporkan gratifikasi. ''Jawa Timur termasuk yang belum hingga April ini,'' katanya.
Dia menyatakan, dalam satu provinsi, yang paling banyak jumlah pelapornya hanya DKI Jakarta. Di provinsi lain hanya 1-12 orang. ''Padahal, tidak mungkin mereka tidak menerima gratifikasi sama sekali,'' tegasnya.
Rendahnya jumlah pejabat yang bersedia melaporkan gratifikasi itu, lanjut Haryono, mungkin disebabkan tidak jelasnya aturan pelaporan gratifikasi. Salah satunya, belum ada batas yang jelas tentang besarnya nilai harta gratifikasi.
Selain itu, lanjut dia, pengertian antara gratifikasi dan suap masih rancu.
''Gratifikasi itu berbeda dari suap. Suap kan jelas dilakukan supaya orang melakukan sesuatu atau tidak. Kalau gratifikasi ini tidak jelas karena ada yang ngasih hadiah, tapi entah kapan nanti ada embel-embelnya,'' paparnya.
Karena itu, Haryono menuturkan, KPK berencana membuat aturan dan batas yang jelas soal gratifikasi. ''Entah itu melalui peraturan pemerintah atau yang lain, semua akan dibicarakan secara spesifik, khususnya soal sanksi,'' katanya.
Sebab, gratifikasi yang tidak dilaporkan bisa memicu tindak pidana korupsi. Dia mengungkapkan, tidak sedikit kasus korupsi yang ditangani KPK bersumber dari gratifikasi. ''Kalau aturannya tidak segera ditegaskan, semakin banyak korupsi yang terjadi. Sebab, gratifikasi ini bisa menimbulkan korupsi. Sudah banyak kasus gratifikasi yang berujung pada korupsi,'' imbuhnya.
Berdasar data KPK Januari-April 2010, lembaga antikorupsi tersebut menangani 49 perkara di tingkat penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Di antara puluhan kasus tersebut, sejumlah kasus merupakan kasus korupsi yang berawal dari gratifikasi.
Misalnya, kasus pembagian cek perjalanan (traveler's cheque) kepada sejumlah anggota DPR atas upaya pemenangan Miranda Goeltom sebagai deputi gubernur senior Bank Indonesia (DGS BI) pada 2004. Dalam kasus itu, KPK telah memvonis empat terdakwa. Yakni, Hamka Yandhu, Dudhie Makmun Murod, Endin Soefihara, dan Udju Djuhaeri. Namun, hingga kini, si pemberi cek perjalanan justru belum terungkap.
Selain kasus pembagian cek perjalanan, kasus gratifikasi lainnya adalah pemberian dana pelicin terkait alih fungsi hutan di Sumatera Selatan kepada tiga mantan anggota DPR yang kerap disebut trio Gegana. Yakni, Azwar Chesputra, Hilman Indra, dan Fachri Leluasa.
Ketiganya terbukti menerima suap dari bos PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo. Tiga terdakwa tersebut telah divonis empat tahun penjara. Seperti kasus sebelumnya, KPK juga belum mampu menjerat si pemberi dana pelicin tersebut, yakni Anggoro Widjojo yang hingga kini masih buron.
Yang terkini, kasus gratifikasi oleh hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Ibrahim. Dia tertangkap tangan oleh KPK saat menerima duit Rp 300 juta dari pihak beperkara, yakni bos PT Sabar Ganda D.L. Sitorus, melalui pengacaranya, Adner Sirait.
Tujuannya, Ibrahim memenangkan gugatan PT Sabar Ganda atas Pemprov DKI Jakarta terkait sengketa tanah di kawasan Cengkareng. Dalam kasus tersebut, tiga orang itu telah ditetapkan sebagai terdakwa. Ketiganya tengah menjalani sidang di Pengadilan Tipikor. (ken/c5/kum)
Sumber: Jawa Pos, 25 Juli 2010