Evaluasi 2007 dan Perspektif 2008

Wajah Hukum Berlepotan Kotoran Politik
Daya tarik publik kasus terorisme yang mengharu biru tanah air beberapa tahun terakhir perlahan mulai surut, menyusul ditembaknya Azhari, buron nomor wahid Polri, dan ditangkapnya jaringan Abu Dujana. Pengeboman yang sebelumnya marak pun tak terjadi lagi.

Bahkan, pelaku bom Bali tinggal menghitung hari untuk dieksekusi. Kinerja hukum pada 2007 lebih menonjol pada tataran makro dengan angle pemberantasan korupsi di berbagai instansi dan berbagai daerah. Banyak kepala daerah dan anggota DPRD yang divonis sebagai koruptor.

Semangat menegakkan hukum dengan mengikis praktik korupsi disadari memang merupakan kinerja panjang dan melelahkan. Tidak bisa dibatasi oleh rentang waktu berdasar tahun.

Semangat itulah yang masih akan mewarnai kinerja hukum pada 2008. Kerumitan pemberantasan korupsi bertambah ketika berhadapan dengan stigma bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Begitu sulit menggerakkan stabilitas pendulum untuk senantiasa berada pada posisi impartiality (tidak berpihak). Dari kinerja hukum di sepanjang 2007 itu, tampak masih mengarah pada keberpihakan, terutama pada rezim pemegang kekuasaan.

Sulit menghindar dari kesimpulan bahwa banyak petinggi era rezim sebelumnya -seperti Wijanarko Puspoyo, Rokhmin Dahuri, Laksamana Sukardi, dan sederet tokoh lain yang harus berurusan dengan hukum- merupakan tokoh yang kurang kuat punya akses dengan penguasa sekarang.

Sementara pada kasus lain, terjadi penyimpangan di KPU, meminggirkan dalam arti menguntungkan Hamid Awaluddin dan siap di-dutabesar-kan. Pada konteks ini, keberuntungan juga berpihak pada tokoh lain dengan menetralisasi indikator korupsi pada Yusril Ihza Mahendra. Sempat terjadi saling lapor antara Yusril dengan Taufiequrachman Ruki (ketua KPK), namun diselesaikan secara adat oleh Presiden SBY.

Kasus makro yang masih gelap dan alot untuk coba diungkap di sepanjang tahun adalah penanganan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Dimulai dari upaya memulihkan daya gerak ekonomi melalui perbankan dengan dikucurkannya dana BLBI pascareformasi yang ternyata diselewengkan. Mengurai kasus itu, tampaknya, lebih sulit dari menegakkan benang basah.

Bahkan, masalahnya kemudian berbelok arah menjadi indikator korupsi oleh anggota legislatif. Badan Kehormatan DPR harus bekerja ekstrakeras di atas tumpukan ribuan kaset untuk sekadar mengurai indikator korupsi di ring lain dari kasus BLBI. Tampaknya, upaya tersebut akan berakhir sia-sia.

Politik Hukum-Hukum Politik
Berbagai peristiwa hukum yang secara makro berdampak besar terhadap kinerja sektor hukum dan nonhukum adalah berhadapan dengan politik. Secara nyata, terjadi tarik ulur antara kinerja hukum (yang merepresentasikan kebijakan pemerintah sebagai politik hukum) pada satu sisi dan politik (yang dimainkan para aktor politik pada dimensi hukum politik) pada sisi lain. Panggung republik pada 2007 ini seolah dipenuhi saling pengaruh antara politik hukum dan hukum politik.

Sejatinya, dalam tataran makro, ketika kinerja hukum berhadapan dengan politik, hukum dalam posisi ini normatifnya mengontrol praktik politik berdasar aturan tertulis yang telah digariskan dan menjadi kesepakatan bersama oleh aktor politik melalui proses legislasi yang panjang serta melelahkan.

Namun, ternyata pada awal mencuatnya berbagai kasus tersebut, hukum seolah tak berdaya untuk menghindarkan diri dari stigma tebang pilih. Terutama pada para aktor politik yang punya akses besar dalam melaksanakan berbagai kebijakan pemerintah saat ini. Pada berbagai kasus yang besar yang kemudian dicuatkan menjadi konsumsi publik, hukum diposisikan sebagai sarana represi dari aktor politik.

Kinerja hukum dinormatifkan dan dilokalisasi sedemikian rupa, sehingga elan untuk menciptakan keadilan justru berubah menjadi arena balas dendam. Pada kasus Rokhmin Dahuri, secara yuridis tergambar jelas siapa yang menerima aliran dana yang menurut hukum telah dikorup. Namun, begitu Rokhmin dipidana, ke hilirnya, kasus itu di-wassalam-kan. Aktor lain yang menerima aliran dana beramai-ramai mencuci diri.

Ada pemeo, tokoh yang dibawa ke pengadilan ibarat kendaraan yang apes kena razia. Sedangkan yang melanggar hukum lebih berat tidak terjamah.

Pada praktik politik telah dimunculkan sedemikian rupa, sehingga memberikan kesan bahwa tidak ada pelanggaran hukum dalam masalah politik. Upaya percobaan mengurai kekusutan seperti yang ditampilkan di seputar kasus BLBI oleh para anggota dan mantan anggota DPR, tampaknya, akan sia-sia. Kalaupun terungkap, yang terkena adalah aktor ring jauh dan sejatinya tidak tahu-menahu substansinya.

Kalaupun ada yang bersalah, dilakukan lokalisasi dengan hanya memproses yang tak punya akses hukum, sementara yang pada top policy tak mampu dijamah.

Pada kerangka teoretis, kekalahan hukum oleh praktik politik tersebut direkonstruksi dengan terjadinya represivitas politik atas kinerja hukum. Nonet dan Selznik (1978) menggarisbawahi, pada satu saat, hukum hanya akan dimanfaatkan sebagai bagian dari komoditas politik. Hukum dijadikan alat untuk melegitimasi tindakan politik untuk cuci tangan dan cuci piring.

Jika pemanfaatan demikian tidak segera dibetulkan, kinerja hukum tidak akan pernah beres, impartialitas hukum tidak bisa terwujud. Hukum yang diposisikan sebagai elemen yang bersifat subordinat dari politik akan menimbulkan ketidakpastian dan mengabaikan rasa keadilan.

Samsul Wahidin, Guru besar ilmu hukum Unmer Malang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 19 Desember 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan