Evaluasi atas Pemberantasan Korupsi
Korupsi bagian dari mata rantai krisis sosial, krisis ekonomi, dan krisis politik di Indonesia. Bahkan, korupsi bisa disebut sebagai salah satu faktor utama dari serentetan krisis tersebut. Periode pemerintahan-pemerintahan yang terus tergulir menggantikan Soeharto, ternyata belum mampu memberantas tindak pidana korupsi.
Kejaksaan
Pasca ambruknya Soeharto, pemerintahan baru mulai B.J. Habibie, hingga sekarang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerbitkan produk hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Misalnya, diawali TAP MPR No XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme, lalu muncullah UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah itu diganti UU No 20/2001 tentang Perubahan UU No 31/ 1999, yang kemudian melahirkan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lembaga itu bubar karena peraturan pemerintah (PP) yang mengatur dianggap tidak sah. Selanjutnya lahir UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian melahirkan Komisi Pemberantasan Komisi (KPK).
Tak Memadai
Akhir-akhir ini langkah KPK sangat menghebohkan. Yang terakhir adalah kasus penangkapan anggota KPU Mulya W. Kusumah dan teman-temannya. Tetapi, sesungguhnya di luar kasus Mulyana, korupsi memiliki sebaran yang luas dengan angka korupsi jauh lebih besar. Inilah salah satu titik lemah KPK karena jangkauan covering jelas tidak memadai dibanding luasnya sebaran korupsi.
Kejaksaan dan kepolisian sesungguhnya dapat berperan penting dalam menutupi kelemahan KPK. Namun, justru di sinilah pangkal masalahnya. Pertama, kapasitas Kejaksaan Agung diragukan dalam memberantas korupsi.
Misalnya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), -yang ketuanya juga pernah menjadi tersangka korupsi- menilai komitmen Kejaksaan Agung, KPK, dan Kepolisian Negara Republik untuk memberantas korupsi adalah rendah.
Bahkan, ada indikasi, korupsi di daerah merupakan hasil persekongkolan antara pemerintah daerah-DPRD dan jajaran kejaksaan, pengadilan, dan kepolisian setempat (Kompas, 4 Maret 2004). Lebih khusus lagi lembaga kejaksaan malah seperti menjadi lembaga impunitas bagi koruptor dan berperan sebagai exit door, dengan mengizinkan tersangka korupsi berobat ke luar negeri.
Langkah lain kejaksaan sebagai ruang impunitas korupsi adalah terlalu mudah mengeluarkan SP3 (surat perintah pemberhentian penyelidikan).
Kedua, dibentuknya KPK sebagai respons atas ketidakberdayaan kejaksaan memberantas tindak pidana korupsi. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin mengatakan (dalam: wwww.hukumonline.com) adanya fakta atau kondisi bahwa persepsi publik terhadap lembaga penegak hukum, kepolisian, dan kejaksaan sudah lossing trust. Tak ada lagi kepercayaan.
Itulah sebabnya, pemerintah dan DPR bersepakat membentuk suatu UU dan lembaga komprehensif, kuat, dan mandiri, serta tanpa ada intervensi dari kekuasaan mana pun.
Pandangan senada disampaikan anggota Komisi III DPR Teras Narang. Dia menjelaskan, pembentukan KPK dan pemberian wewenang yang luar biasa kepada lembaga ini justru karena lembaga yang ada (polisi dan jaksa) belum melaksanakan tugas dan wewenang secara benar (Sumber: www. Hukumonline.com11/1/05).
Apa yang Harus Dilakukan
Pertama, lemahnya kejaksaan dalam memberantas tindak pidana korupsi -bahkan justru bagian dari masalah korupsi itu sendiri- salah satunya disebabkan tidak transparannya, tidak akuntabelnya, dan tidak adanya partisipasi publik dalam pengawasan terhadap organisasi dan kinerja kejaksaan. Pengawasan kejaksaan selama ini bersifat internal dan tertutup. Untuk itu perlu memperbaiki sistem pengawasan di kejaksaan hingga menjadi pengawasan yang transparan, akuntabel, dan partisipatoris.
Komisi kejaksaan yang saat ini dipersiapkan, bisa menjadi sarana penunjang untuk itu. Tetapi, siapa yang duduk di sana menjadi sangat berpengaruh terhadap lembaga baru tersebut.
Kedua, untuk menunjukkan komitmen perubahan, kejaksaan harus membuka kembali kasus-kasus korupsi yang di-SP3-kan, terutama kasus-kasus besar dan para mantan pejabat Orde Baru.
Terkait hal itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pernah mengatakan (Pikiran Rakyat 28/1/05), telah membuka kembali kasus di-SP3-kan.
Menurut dia, ada dua perkara yang akan dilimpahkan, yakni kasus ruilslag gedung Lemigas dan technical assistance contract (TAC), khususnya pada tahap pelaksanaan. Untuk kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), akan disiapkan memorandum of understanding (MoU) tentang penyelesaiannya.
Apakah pernyataan Jaksa Agung merupakan suatu kesungguhan atau sekedar penghibur bagi kita yang sudah terlalu bosan dibohongi terus menerus. Ada baiknya kita tunggu.
* Johnson Panjaitan SH, ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) di Jakarta.
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 2 Agustus 2005