Fasilitas Wajar Pejabat Negara

Sesaat setelah kisruh PP 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD reda, kini publik dikejutkan oleh proyek pengadaan fasilitas kerja elektronik untuk anggota DPR.

Proyek itu ialah pembelian 550 laptop senilai Rp 13,99 miliar atau Rp 24,45 juta per laptop (diturunkan menjadi Rp 22 juta), dua unit scanner senilai Rp 300 juta, 70 laptop untuk Setjen DPR senilai Rp 1,54 miliar atau Rp 22 juta per laptop, 70 unit PC dengan nilai total 1,275 miliar, 4 unit server senilai Rp 1,738 miliar, pembuatan aplikasi senilai Rp 250 juta, pembuatan desain teknologi informasi senilai Rp 500 juta, dan pengadaan sistem jaringan internet dengan wireless fidelity senilai Rp 1,399 miliar (JP, 24 Maret 2007).

Tak pelak, rencana pembelian laptop itu ditolak publik. Arbi Sanit menilai, proyek itu hanya alasan untuk mengeluarkan uang negara. Senada dengan itu, pengamat telematika Roy Suryo menganggap tidak semua anggota DPR membutuhkan laptop dan mengoperasikannya.

Suryo juga menilai, harga laptop tersebut terlalu mahal. Anggaran Rp 22 juta bisa digunakan untuk membeli tablet yang memiliki banyak keunggulan, seperti untuk menelepon dan telekonferensi.

Penolakan juga disuarakan beberapa anggota DPR, seperti Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno. Menurut Mbah Tarjo -sapaan Soetardjo Soerjogoeritno-, anggota DPR sebaiknya tidak meniru DPR luar negeri. Toh, di masing-masing ruang anggota dewan sudah ada komputer (PC). Itu sudah cukup.

Wajar
Terlepas dari harga laptop Rp 22 juta, wajar bila setiap anggota dewan memiliki laptop untuk menunjang kerja mereka. Posisi wakil rakyat dengan tugas utama sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah memerlukan mobilitas tinggi. Mereka mesti bolak-balik antara daerah yang diwakili dengan Jakarta.

Bila dilihat luasnya wilayah Indonesia, tentu mobilitas tinggi anggota dewan itu memerlukan peralatan yang juga mobile. Di aspek itulah, laptop lebih memadahi dibandingkan PC.

Apalagi, saat ini laptop tidak lagi menjadi barang mahal. Meski demikian, pemanfaatan laptop untuk menunjang kerja sudah lazim terjadi di semua institusi, baik negeri maupun swasta. Banyak pejabat eksekutif di daerah dan pusat yang mendapatkan fasilitas mobile komputer.

Bahkan, banyak akademisi, seperti Roy Suryo dan Arbi Sanit, yang memanfaatkan laptop untuk memudahkan tugas akademik mereka.

Dengan pertimbangan itulah, tim kajian peningkatan kinerja dewan merekomendasikan pemberian laptop untuk anggota dewan yang kemudian disepakati seluruh fraksi di BURT DPR, bahkan dalam paripurna DPR. Hal itu juga telah dianggarkan dalam APBN 2007.

Namun, laptop tersebut tetap menjadi inventaris negara dan bukan milik anggota DPR secara pribadi. Karena itu, sangat aneh dan bernuansa politis bila ada anggota DPR yang menolak proyek tersebut.

Mungkin benar tidak semua anggota DPR membutuhkan dan bisa mengoperasikan laptop seperti kata Roy Suryo. Pertanyannya adalah mungkinkah laptop hanya diberikan kepada sebagian anggota DPR? Di sinilah pemikiran Roy Suryo tampak akademis tanpa memperhatikan psikologi politik di parlemen.

Pemberian laptop untuk semua anggota DPR adalah langkah aman untuk menghindarkan terjadinya kecemburuan antara anggota dewan. Bila terjadi konflik antaranggota parlemen, tentu peran dan fungsi legislasi DPR akan terhambat. Ujung dari kondisi chaotic itu adalah keterlantaran rakyat.

Dengan menerima fasilitas yang sama, masing-masing anggota dewan merasa diperlakukan sama dan sederajat tanpa diskriminasi.

Kita mungkin belum lupa dengan konflik pada awal-awal pembentukan kepemimpinan DPR periode 2004-2009. Konflik antara fraksi-fraksi pendukung SBY-Kalla dan kelompok oposisi yang sempat melahirkan dualisme kepemimpinan DPR tersebut berakibat pada mandeknya kerja mereka.

Karena itu, daripada meributkan fasilitas wajar bagi pejabat negara tersebut, lebih baik seluruh komponen bangsa mengawasi proyek tersebut agar tidak terjadi penyelewengan. Masyarakat juga perlu mengawasi wakil-wakilnya agar tidak menyimpang dari tugas dan fungsi legislasinya.

Ahmad Khoirul Fata, koordinator Jaringan KB-PII Muda Surabaya

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 28 Maret 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan