Fiskal LN, Ladang Korupsi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan keprihatinan yang mendalam atas adanya praktik tindak pidana korupsi biaya fiskal kunjungan ke luar negeri (LN). Menurut presiden, korupsi biaya fiskal LN ini sudah sangat serius dan karena itu harus diberantas. Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) sebagai pelaksana lapangan penarikan fiskal LN adalah pihak pertama yang tertuduh sebagai pelaku korupsi fiskal itu.
Pengenaan fiskal kunjungan ke luar negeri memang tidak umum diberlakukan di negara-negara lain. Namun, di tengah minimnya pendapatan negara, biaya fiskal diberlakukan. Sebelum krisis ekonomi, biaya fiskal luar negeri melalui jalur udara Rp 250 ribu. Namun, jumlah ini dinaikkan menjadi Rp 1 juta setelah terjadi krisis moneter pada 1998. Tidak ada protes keras saat itu. Di sisi lain, pemerintah berargumentasi yang menjadi objek pajak fiskal ini adalah masyarakat yang notabene secara ekonomi mampu.
Pengenaan biaya fiskal kunjungan ke LN memang menambah pendapatan negara. Pendapatan dari fiskal ini bisa mencapai Rp 1,2 triliun dalam satu tahun anggaran. Karena itu, ketika muncul usul pencabutan biaya fiskal, pemerintah cukup berhati-hati mengiyakannya. Bahkan, protes juga datang dari negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura yang berdalih pengenaan fiskal membatasi kunjungan WNI ke kedua negara tersebut.
Bisa dipahami bahwa fiskal menjadi salah satu sumber pendapatan yang tidak kecil. Namun, jika ternyata ada moral hazard, seperti penggelapan biaya fiskal, tentu menjadi hal yang harus dituntaskan. Bukan lantas, karena menjadi ladang korupsi, pemerintah mengambil kebijakan menghapus fiskal luar negeri. Ini sama halnya dengan membunuh beberapa ekor tikus di dalam rumah dengan cara membakar seluruh rumah tersebut.
Menilik modus operandi penggelapan fiskal ini, kasat mata bagaimana lemahnya sistem pengawasan bagi para petugas di bandara. Ada saja celah untuk meraup untung demi kepentingan pribadi dari uang yang seharusnya menjadi hak negara. Antarpetugas seperti sudah ada kerja sama yang sangat rapi, sementara para pembayar fiskal juga tidak dirugikan karena biasanya membayar separo dari nilai fiskal yang seharusnya dibayar. Yang dirugikan tentu saja negara.
Penggelapan fiskal adalah bukti nyata bagaimana bobroknya mentalitas petugas bandara kita. Korupsi mungkin tidak hanya dilakukan di pos pembayaran fiskal, tetapi juga di pos-pos lain seperti pembayaran peron untuk masuk area check in di dalam bandara. Juga kita lihat bagaimana ketika para TKI yang baru pulang dari tempatnya bekerja di LN, menjadi sasaran empuk pemerasan para petugas bandara.
Korupsi di negeri ini memang seperti telah menjadi budaya. Hampir semua lapisan masyarakat mengamini untuk melakukan korupsi. Korupsi juga tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan berat, bahkan dianggap tidak sejahat ulah seorang pencuri sandal. Keprihatinan Presiden SBY tentu hanya akan menjadi omong kosong belaka jika tidak diikuti dengan pembenahan internal yang menyeluruh, komprehensif, dan integral untuk memberantas korupsi di semua lini.
Kita menunggu langkah nyata yang akan dilakukan presiden untuk memberantas korupsi fiskal ini. (*)
tulisan ini merupakan tajuk rencana Jawa Pos, 21 Desember 2005