Gagalnya Diskursus Antikorupsi
Mengapa korupsi terus menggurita? Mengapa koruptor tetap merajalela, bahkan makin nekat dan menggila? Mengapa Indonesia tetap jawara korupsi se-Asia?
Bukankah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diubah dan lebih diberdayakan dengan UU Nomor 20 Tahun 2001? Bukankah telah diterbitkan UU Nomor 7 Tahun 2006 yang mengesahkan United Nations Convention Against Corruption 2003? Bukankah telah dikeluarkan UU Nomor 13 Tahun 2006 untuk melindungi saksi yang melaporkan kasus korupsi?
Pertanyaan-pertanyaan itu menyeruak seiring semakin terkuaknya praktik makelar kasus di Ditjen Pajak. Apalagi, ketika Komisaris Jenderal Susno Duadji—sang ”peniup peluit”—kian bersemangat membongkar jaringan korupsi di tubuh Polri.
Selama ini, upaya melawan korupsi seperti menemui jalan buntu. Remunerasi selain sarat ketidakadilan terbukti gagal menundukkan hasrat menyimpang. Gaji berlipat ibarat air laut. Makin banyak diteguk, dahaga harta justru makin tersulut. Sanksi seberat-beratnya—termasuk hukuman seumur hidup—seolah mandul. Alih-alih bertindak tegas dan berani, para penegak keadilan justru terlibat kasus yang ditangani. Akhirnya, nalar kita terhenti pada kesimpulan: korupsi adalah persoalan mentalitas.
Penyebab kegagalan
Namun, di balik semua itu agaknya ada soal yang terlupakan, kegagalan kita menciptakan diskursus antikorupsi. Kita gagal menyatukan pemikiran, pemahaman, dan tekad bersama melawan korupsi.
Diskursus—komunikasi sehari-hari yang argumentatif-purposif—selalu melibatkan pemaknaan. Gagasan klasik Saussure (Cours de Linguistique Generale, 1916) tentang la langue—yang dibedakan dari la langage dan la parole—mengandaikan bahwa pemaknaan bersifat seragam. Kata ”lumpur” dalam bahasa Indonesia, misalnya, pasti dimaknai sama oleh semua penutur bahasa Indonesia. Makna yang (diandaikan) sama itu dapat dilacak dalam kamus.
Namun, gagasan Saussure ditampik para penggagas representasi sosial dalam psikologi sosial. Moscovici (Social Representations: Explorations in Social Psychology, 2001), umpamanya, menyatakan bahwa bahasa merepresentasikan realitas historis. Maka, pengalaman individual/kelompok—terutama yang impresif dan traumatis—menjadikan pemaknaan sebuah kata dapat berbeda seturut perbedaan pengalaman individu/kelompok penggunanya. Kata ”lumpur” bagi petani berkonotasi positif karena merepresentasikan harapan akan kehidupan. Namun, bagi warga Sidoarjo yang menjadi korban kecerobohan Lapindo, kata ”lumpur” berkonotasi negatif karena merepresentasikan ancaman yang menakutkan.
Kegagalan diskursus antikorupsi berpangkal pada kesenjangan pemaknaan semacam itu. Ada kesenjangan besar dalam pemaknaan kata ”korupsi” oleh masyarakat. Bagi sejumlah pihak, ”korupsi” mungkin justru berkonotasi positif karena menghadirkan kelimpahan duniawi dan pertemanan (baca: persekongkolan).
Kegagalan diskursus makin serius karena kata ”korupsi” dan ”koruptor” nyatanya bukan kata asli bahasa (di) Indonesia. Siapa yang tersentak atau tersentuh nalar dan hatinya ketika mendengar kata ”korupsi” atau ”koruptor”? Agaknya dua kata itu hanya menyentak mereka yang bergiat dalam gerakan antikorupsi. Namun, bagaimana daya sentuh kata ”korupsi” dan ”koruptor” bagi nalar dan hati masyarakat awam?
Diskursus baru
Kita sesungguhnya pernah memiliki pengalaman gemilang dalam menciptakan diskursus perlawanan. Sebelum kemerdekaan, pekik ”merdeka!”, ”merdeka atau mati!”, atau ”usir penjajah!” mampu menyatukan pikiran, perasaan, dan tekad kita melenyapkan penjajahan. Ketika kemerdekaan Indonesia yang baru seumur jagung terus diusik, pekik ”sekali merdeka tetap merdeka!” berhasil menyelamatkan kedaulatan negara ini.
Sewaktu kita berseteru dengan negeri jiran, pekik ”ganyang Malaysia!” sukses menegakkan martabat bangsa. Pada awal Orde Baru, semangat ”ganyang PKI!” juga berhasil menyatukan (sebagian besar) bangsa kita. Jadi, kuncinya adalah kemampuan menciptakan musuh bersama (common enemy), lalu menancapkannya dalam pikiran dan hati masyarakat.
Rosenberg (Nonviolent Communication: A Language of Life, diterjemahkan Alfons Taryadi, 2010) menganjurkan penggunaan bahasa dan metode komunikasi yang empatik dan penuh kasih. Anjuran Rosenberg lebih ditujukan untuk komunikasi interpersonal agar manusia terhindar dari perseteruan dengan sesama. Namun, petuah Rosenberg sesungguhnya mengingatkan secara tersirat bahwa untuk melawan musuh bersama seluruh bangsa—bernama ”korupsi” dan ”koruptor”—justru diperlukan ungkapan-ungkapan impersonal yang lebih menyentak dan menghujam.
Kita memerlukan diskursus baru untuk membangun habitus antikorupsi dalam masyarakat. Kata-kata bahasa Indonesia dan bahasa daerah perlu dicuatkan untuk menyulih kata ”korupsi” dan ”koruptor” yang asing bagi nalar dan hati masyarakat. Kata seperti (maaf) ”maling”, ”garong”, ”pencuri”, ”perampok”, dan ”penjarah” terasa jauh lebih menyentak daripada ”koruptor”. Juga kata ”pencurian”, ”perampokan”, dan ”penjarahan” terkesan lebih menghujam daripada ”korupsi”.
”Ganyang maling uang rakyat!”, ”enyahkan garong harta negara!”, dan ”sikat penjarah lumbung Indonesia” saatnya dipekikkan bersahutan. Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR(D), menteri, gubernur, bupati/wali kota, jaksa, hakim, polisi, politisi, dan siapa pun tak perlu segan memekikkannya dalam setiap kesempatan. Lalu, kita masing-masing dapat menilai diri, apakah hati tergetar oleh pekik tadi? Atau, bibir kita sekadar membuka dan lirih bersuara? Jangan-jangan, kita harus mengganyang diri sendiri?!
P Ari Subagyo Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 27 April 2010