"Gayus" untuk Gula Petani
MEMBACA judul tulisan ini mungkin banyak yang mengernyitkan dahi. Apa hubungan Gayus dengan gula petani? Terbongkarnya kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan merupakan peristiwa sangat fenomenal. Begitu fenomenalnya sehingga terhadap semua yang menyangkut masalah pajak, publik negeri ini kemudian mengidentikkannya dengan sosok Gayus.
Sementara itu, beberapa hari belakangan santer diberitakan bahwa pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap gula petani 10 persen. Jadi, mohon dimaklumi atas keusilan penulis ikut-ikutan latah mengganti kata "pajak" dengan kata "Gayus" pada judul tulisan ini.
Wacana pengenaan PPN tersebut kemudian direspons negatif oleh pasar. Harga lelang gula petani terus anjlok. Sekitar 6.700 ton gula petani di wilayah PT Perkebunan Nusantara X tidak laku dijual. Bahkan, lelang gula petani yang diselenggarakan di PT Perkebunan Nusantara XI, Selasa (15/6), gagal mencapai kesepakatan harga. Jika pada pekan sebelumnya harga lelang gula petani masih bertengger pada angka Rp 8.060 per kilogram, saat lelang tersebut diselenggarakan, angka penawaran tertinggi hanya Rp 7.200 per kilogram.
Musim panen tak selamanya identik dengan kegembiraan. Setidaknya itulah yang terjadi pada petani tebu saat ini. Menurut hitung-hitungan Abdul Wachid, ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), pendapatan petani tebu pada musim giling 2010 berpotensi hilang Rp 1,57 triliun. Kondisi ini merupakan resultan dari turunnya harga lelang gula, kecilnya rendemen, anjloknya harga tetes tebu, dan naiknya ongkos tebang angkut (Kompas, 21/6).
Masalah Transmisi Harga
Duka petani tebu ini bermula ketika Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memasukkan gula petani sebagai barang kena pajak. Pertimbangannya, gula dinilai bukan produk primer seperti beras, jagung, kedelai, atau telur, tetapi merupakan barang olahan. Produk primernya sendiri adalah tebu.
Tentu masalah ini mengusik hati nurani kita. Pasalnya, petani tebu bukanlah pengusaha kena pajak. Umumnya petani tebu adalah petani subsistem yang mengusahakan lahannya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal keluarga, sehingga tidak pantas dikenai PPN.
Menurut data statistik 2009, produksi gula petani mencapai 1,6 juta ton. Dengan asumsi harga gula di tingkat lelang Rp 8.000/kg, dari pengenaan PPN 10 persen akan dapat diraup fulus Rp 1,28 triliun setahun. Nominal ini tentu sangat menggiurkan bagi aparat pemungut pajak.
Agar tidak terkesan menindas petani, Ditjen Pajak membuat skema pengenaan PPN tersebut tidak langsung kepada petani, tetapi kepada pedagang. Sepintas terkesan sangat heroik, tapi pemerintah mungkin lupa bahwa pada perdagangan komoditas pertanian, transmisi harga bersifat asimetris. Penurunan harga selalu ditransmisikan dengan cepat kepada petani. Sebaliknya, kenaikan harga ditransmisikan dengan lambat.
Kondisi seperti ini sangat kontra produktif dengan upaya pencapaian swasembada gula yang ditargetkan pemerintah pada 2014. Faktor utama yang memengaruhi kegairahan petani dalam meningkatkan produksi adalah adanya insentif yang memadai terhadap harga jual produk. Harga lelang gula yang terus merosot tentu menggerus kegairahan petani tebu untuk meningkatkan produksi.
Gula Rafinasi
Untuk mencapai target swasembada gula 2014, pemerintah harus secara tegas menunda kebijakan yang sangat tidak populer bagi petani tebu dan menjamin tidak akan ada potongan PPN di kemudian hari. Seharusnya pemerintah lebih fokus pada permasalahan utama peningkatan produksi gula nasional, yaitu sisi off farm.
Rendahnya tingkat otomatisasi pabrik berakibat pada beberapa hal. Misalnya, kualitas gula relatif rendah, tingkat efisiensi rendah, dan daya saing usaha lemah. Saat ini rendemen rata-rata yang dicapai pabrik gula BUMN hanya berkisar tujuh persen. Angka itu dapat ditingkatkan menjadi 9-10 persen jika dilakukan modernisasi pabrik gula yang saat ini umumnya sudah sangat tua. Karena itu, Program Revitalisasi Industri Gula 2010-2014 yang menelan investasi Rp 4,43 triliun, harus banyak menyentuh sisi off farm untuk mengganti mesin/peralatan pabrik yang sudah tua dan tidak efisien.
Kebijakan fiskal yang tepat perlu dilakukan agar iklim usaha gula domestik lebih kondusif. Sebagai contoh penerapan bea masuk gula impor harus diterapkan secara progresif. Artinya, jika harga gula di pasar internasional sedang turun, bea masuk harus dinaikkan pada angka signifikan. Melalui cara ini stabilitas harga dan pasokan gula nasional akan terjaga.
Satu hal yang harus diingat, impor gula harus ditempatkan sebagai bagian dari solusi dan strategi produksi nasional yang berkelanjutan. Selama ini kebijakan impor lebih terkesan sebagai kebijakan ad hoc dalam rangka "memadamkan kebakaran".
Pengawasan distribusi gula impor juga masih sangat lemah. Gula rafinasi yang menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 111 Tahun 2009 diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman, sekarang ini bocor ke pasaran umum. Kondisi ini tentu berpotensi menjatuhkan harga gula petani.
Program swasembada gula 2014 tak akan tercapai tanpa dukungan moral dan politik dari para penentu kebijakan untuk lebih berpihak kepada petani tebu. Kebijakan pengenaan PPN pada gula petani ini sama saja dengan upaya kaum penjajah pada abad ke-19. Mereka membunuh para petani sejak adanya industri agrikultur pada 1830. Sedihnya, setelah merdeka, kebijakan itu justru dilanjutkan oleh bangsa sendiri. Lalu, apa kata dunia? (*)
*) Toto Subandriyo , alumnus IPB dan MM-Unsoed, kepala BP4K Kab Tegal, Jateng
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 29 Juni 2010