Gedung Baru DPR; Hanya Drama Elite demi Kepentingan Kelompok
Kontroversi pendapat fraksi-fraksi partai politik di DPR soal jadi atau tidaknya pembangunan gedung baru hanyalah drama yang bersifat elitis demi kepentingan kelompok. Semua itu menutupi kelemahan tugas wakil rakyat dalam membuat undang-undang, mengawasi pemerintah, dan menyusun anggaran yang memihak kepentingan rakyat.
Pengamat sosial-politik Fachry Ali, mengatakan hal itu di Jakarta, Senin (11/4). Menurut dia, seluruh perbincangan dari DPR belakangan ini hanya membuahkan soal-soal tidak penting dan minim argumentasi. Itu mencerminkan pertarungan elite yang sebenarnya tidak menyentuh kepentingan rakyat secara langsung.
”Apa yang terjadi di DPR itu kehendak elite, tetapi pura-pura atas nama rakyat. Semua itu manipulasi saja, termasuk fraksi-fraksi yang menolak pembangunan gedung baru, bahkan sampai walkout dari sidang. Itu mirip gosip yang permukaan dan minim argumentasi, ” katanya.
Menurut Fachry Ali, semua kasus yang muncul secara bertubi-tubi di panggung politik nasional belakangan ini hanyalah drama. Kasus demi kasus mencuat, tetapi kemudian tenggelam tanpa penyelesaian jelas. Sayangnya, pers terjebak untuk ikut sibuk memanas-manasi sandiwara itu.
”Sebut saja soal Bank Century, angket mafia pajak, studi banding, tari perut, gedung baru, dan terakhir video porno. Tidak ada sesuatu dari DPR yang memberi inspirasi,” katanya.
Semua itu akhirnya menutupi kegagalan DPR dalam melahirkan gagasan yang memberikan inspirasi bagi transformasi bangsa, seperti soal ideologi, nasionalisme, atau kebangsaan. Kerja wakil rakyat dalam membuat undang-undang, mengawasi pemerintah, dan menyusun anggaran malah terbengkalai.
”Sebaiknya DPR kembali pada fungsi idealnya dalam legislasi, kontrol terhadap pemerintah, dan penganggaran yang memihak kepentingan rakyat. Mereka dipilih rakyat untuk bekerja, bukan meributkan isu-isu yang tidak penting,” katanya.
Tinjau kembali
Sebelumnya di Semarang, Minggu (10/4), Prof Ir Eko Budihardjo, pakar arsitektur yang juga mantan Ketua Forum Rektor Indonesia (bukan Ketua Forum Indonesia seperti diberitakan kemarin), mengharapkan pembangunan gedung baru DPR ditinjau kembali.
Imbauan serupa juga disampaikan sejumlah pakar dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, seperti Prof Dr Ir Sugiono Soetomo (Ketua Program Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan Undip), Prof Ir Totok Roesmanto (Ketua Program Magister Teknik Arsitektur Undip), Dr Ir Bambang Setioko (dosen Fakultas Teknik Undip), Dr Ir Adi Nugroho (dosen komunikasi Undip), serta sejumlah anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Undip.
Secara terpisah, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, kemarin menilai, isu pembangunan gedung DPR ini kemungkinan sengaja digoreng demi keuntungan partai berkuasa dan Istana. Salah satu keuntungannya, soal pencitraan.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Iqbal Sullam di Jakarta kemarin mengatakan, pembangunan gedung DPR senilai Rp 1,138 triliun dinilai bukan prioritas. ”Kendati mungkin saja ruang kantor DPR sudah kurang memadai, kenyataannya tidak buruk. Lagi pula, dengan kondisi Indonesia saat ini, anggaran lebih dari Rp 1 triliun ini lebih baik digunakan untuk kebutuhan yang lebih diprioritaskan,” ujarnya. (IAM/INA/ODY)
Sumber: Kompas, 12 April 2011