Gerakan Masyarakat; Tuntutan Akuntabilitas LSM, Isu yang Berulang
Pada 14 April lalu, lembaga swadaya masyarakat Abdi Lestari Nusa menggelar seminar nasional di Jakarta. Acara itu mengambil tema Perlunya Mengaudit Sumber Dana Asing dan Agenda Kegiatan terhadap LSM yang Merugikan Rakyat, Bangsa, dan Negara RI.
Praktisi hukum Elza Syarief, salah satu pembicara dalam acara ini menuturkan, audit terhadap LSM diperlukan sebagai salah satu cara untuk mengontrol dan meningkatkan akuntabilitas lembaga itu. Sebab menurut dia, ada LSM yang kerjanya hanya mengumpulkan kliping koran untuk kemudian dilaporkan sebagai hasil kerja ke lembaga donor. Audit terhadap LSM juga dibutuhkan karena ada dugaan lembaga donor memiliki kepentingan atas dana yang mereka berikan.
Praktisi hukum Chandra Motik Yusuf, pembicara lain, bahkan mengusulkan adanya kewenangan bagi pemerintah untuk memeriksa dan mengatur penyandang dana LSM. Sebab ada LSM yang diduga telah merugikan citra Indonesia.
Di tengah maraknya kemunculan berbagai LSM pada era reformasi, pembicaraan tentang akuntabilitas lembaga itu sebenarnya bukan hal baru. Apalagi ketika disinyalir ada LSM yang dibentuk hanya untuk mencari keuntungan bagi pengurusnya atau mengamankan posisi sejumlah pejabat pemerintah. LSM yang terakhir ini biasa disebut sebagai LSM pelat merah.
Kasus dugaan LSM pelat merah, misalnya, pernah muncul dalam perkara korupsi Bupati Kepulauan Riau Huzrin Hood. Dalam persidangan terungkap, ada 25 LSM yang menerima bantuan senilai Rp 2,1 miliar yang diambil dari APBD Kepri 2001-2002. Namun, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Kepri Norbet Johan mengaku, 25 LSM itu tidak terdaftar di pemerintahan kabupaten setempat (Kompas, 12 Juli 2003).
Untuk menciptakan akuntabilitas LSM ini, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tahun 2002 berinisiatif menyusun kode etik dan membuat asosiasi khusus bagi LSM yang bergerak di bidang pengembangan sosial dan ekonomi.
Kode etik yang ditandatangani 252 LSM itu, antara lain menyatakan, LSM tidak didirikan untuk mencari keuntungan, namun mengabdi kepada umat manusia dan kemanusiaan. Semua informasi yang berkaitan dengan misi, keanggotaan, kegiatan, dan pendanaan LSM, pada dasarnya bersifat publik hingga terbuka bagi masyarakat. LSM juga akan memakai standar pembukuan dan pelaporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum.
Romanus Ndau Lendong, Program Manajer Yayasan Visi Anak Bangsa mensinyalir, munculnya isu akuntabilitas LSM belakangan ini bukan terutama karena banyaknya LSM pelat merah, melainkan lebih karena kegelisahan sejumlah pihak terhadap LSM yang selama ini cukup kritis kepada pemerintah. Apalagi dalam isu itu sempat muncul ungkapan adanya LSM yang telah mencemarkan Indonesia di mata internasional. Jika benar, isu itu terutama akan dipakai untuk membatasi gerak LSM yang selama ini aktif di bidang pembelaan hak asasi manusia, kata dia.
Sosiolog Kastorius Sinaga yang menulis disertasi NGO