Ginandjar lolos Lagi

Ginandjar Kartasasmita kembali lolos dari jerat hukum. Kali ini ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu gagal diusut dalam kasus korupsi proyek Export Oriented Rafinary (Exor) I Pertamina di Balongan, Indramayu, USD 189,5 juta (atau setara Rp 1,7 triliun).

Padahal, sebelumnya Ginandjar diindikasi terlibat kasus itu semasa menjabat sebagai menteri pertambangan dan energi (Mentamben) di era Presiden Soeharto.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy mengatakan, masa kedaluwarsa perkara dengan ancaman hukuman seumur hidup atau hukuman mati adalah 18 tahun. Kasus Exor I terjadi pada 1989. ''Coba hitung berapa. Kan sudah 18 tahun, berarti kedaluwarsa. Nggak bisa lagi (diusut),'' kata Marwan setelah peringatan Hari Bakti Adhyaksa di Kejagung kemarin (22/7).

Apabila ancaman hukumannya tiga tahun, masa kedaluwarsa perkara adalah 12 tahun. Ketentuan tersebut berdasar pasal 71 ayat (1) dalam KUHP.

Marwan mengakui pengusutan kasus itu terkendala pembentukan tim koneksitas antara kejaksaan dan Mabes TNI. Hingga saat ini, tidak ada kejelasan mengenai izin untuk membentuk tim koneksitas itu dari panglima TNI. Jaksa Agung Hendarman Supandji sudah menyurati panglima TNI, tetapi belum ada balasan. Penyidikannya bersifat koneksitas karena saat kejadian perkara, Ginandjar berstatus tentara aktif di TNI.

Penghentian kasus Balongan otomatis membuat ''aman" sejumlah orang yang terindikasi terlibat. Selain Ginandjar, ada Erry Putra Odang yang tak lain keponakan istri mantan Presiden Soeharto, almarhumah Tien Soeharto.

Bagi Ginandjar, putusan kejaksaan tersebut membuatnya terbebas untuk kali kedua. Sebelumnya, semasa Jaksa Agung M.A. Rachman, kasus korupsi Ginandjar juga dihentikan melalui SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Kasusnya adalah dugaan korupsi technical assistance contract (TAC) antara Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas (UPG) senilai USD 23 juta. SP3 kasus tersebut pernah dikaji ulang di era Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, tetapi belakangan tidak ditemukan unsur perbuatan melawan hukum.

Dalam kasus Balongan, satu-satunya terpidana yang dipenjara adalah mantan Direktur Pengolahan Pertamina Tabrani Ismail. Dia divonis enam tahun penjara dan denda Rp 30 juta subsider tiga bulan kurungan serta membayar ganti kerugian negara USD 189,5 juta. "Tabrani saja yang kena. Lainnya nggak," kata mantan kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim itu.

Terpisah, pakar hukum pidana Indriyanto Senoadji mengatakan, kejaksaan berwenang menetapkan sebuah kasus sudah masuk kedaluwarsa. Penetapan sebuah kasus kedaluwarsa diatur dalam KUHP. ''Memang ada beberapa masa kedaluwarsa berdasar ancaman hukumannya," jelasnya tadi malam. Masa kedaluwarsa tersebut diperlukan karena menyangkut kepastian hukum seseorang.

Dalam kasus Exor I Pertamina di Balongan, tim penyidik koneksitas harus dibentuk karena salah seorang di antara sejumlah nama yang diindikasi terlibat adalah anggota TNI yang dikaryakan untuk mengurusi bidang pertambangan, khususnya proyek Exor.

Berdasar catatan koran ini, satu-satunya anggota TNI yang kini purnawirawan dan terlibat dalam kasus Balongan adalah Ginandjar Kartasasmita. Kala itu dia menjabat menteri pertambangan dan energi (Mentamben).

Proyek Exor Balongan dikabarkan disetujui Dewan Komisaris Pertamina (DKP). DKP beranggota 10 menteri yang diketuai Ginandjar. Sembilan menteri anggota DKP, antara lain, Radius Prawiro sebagai Menko Ekuin.

Tabrani hanya menjadi anggota tim negosiasi dari Pertamina atas pelaksanaan proyek dengan rekanan PT Foster Wheeler Indonesia itu. Bos PT Foster adalah Erry. (fal/agm)

Sumber: Jawa  Pos, 23 Juli 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan