Godaan Wakil Rakyat
Dalam satu bulan terakhir, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) diguncang setidaknya dua isu percaloan.
Yang pertama melibatkan Aziddin, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat. Aziddin yang dituding terlibat percaloan pondokan haji di Tanah Suci, bahkan, oleh Badan Kehormatan (BK) DPR direkomendasikan untuk diberhentikan dan oleh pimpinan DPR telah diteruskan kepada presiden untuk dikeluarkan surat keputusan pemberhentian.
Kedua, yang kini sedang hangat menjadi pemberitaan media massa, yakni isu percaloan dana bencana nasional gempa bumi. Kasus ini konon melibatkan tujuh anggota DPR. Mereka mengajukan proposal kepada Kantor Menko Kesra dan mendesak-desak agar proposalnya segera di-goal-kan.
Berbeda dengan kasus pertama yang berbuntut pemberhentian, kasus kedua buru-buru dihentikan bersama oleh Menko Kesra Aburizal Bakri dan Ketua DPR Agung Laksono. Badan Kehormatan DPR belum sempat berbuat apa-apa terhadap percaloan berjamaah itu.
Masyarakat, juga sejumlah anggota DPR, sebagaimana tecermin dalam pemberitaan pers, merasa tidak puas dan bertanya-tanya atas buru-buru ditutupnya kasus itu karena beberapa hal. Pertama, mengapa kasus itu tidak diproses lebih lanjut sebagaimana kasus Aziddin. Terkesan ada diskriminasi.
Kedua, hal tersebut mencerminkan tidak adanya komitmen sungguh-sungguh dari dua pejabat negara yang menutup kasus itu. Ketiga, tidak jelas tujuh anggota itu siapa saja sih? Anggota DPR yang tidak terlibat percaloan jadi risi karena masyarakat pasti menebak-nebak siapa saja pelaku kasus memalukan itu.
Menjadi anggota DPR yang biasa disebut wakil rakyat itu memang harus tebal iman. Banyak godaan yang halus maupun terang-terangan di gedung kawasan Senayan tersebut. Pengalaman saya selama hampir dua tahun duduk di komisi III dan komisi II begitu sering digoda dengan iming-iming uang puluhan juta rupiah untuk melakukan sesuatu yang sangat mudah.
Di komisi III yang membidangi hukum dan keamanan, ketika ada orang-orang yang diduga atau disangka terlibat kasus kriminal meminta tolong untuk dihubungkan dengan pejabat di kepolisian, kejaksaan, atau Mahkamah Agung yang memang menjadi mitra kerja komisi III, ada orang tua yang anaknya mau mendaftar di Akademi Kepolisian (Akpol) minta dicarikan jalan agar anaknya lulus tes dengan mulus. Imbalan yang diiming-imingkan bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Ada pengusaha yang ingin mengerjakan proyek di sejumlah departemen dan instansi yang bermitra dengan komisi III minta diberi katebelece agar proposal dan tendernya goal. Mereka berjanji akan memberikan bagi hasil yang memadai.
Juga ada pejabat di instansi atau departemen yang ingin menempati jabatan tertentu meminta bantuan anggota DPR untuk diperjuangkan. Imbalannya, nanti akan ada semacam success fee bila jabatan yang diincar benar-benar jatuh ke tangannya.
Tak Perlu Proaktif
Di komisi II yang bermitra kerja, antara lain, dengan Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Sekretariat Kabinet, Sekretariat Negara, Komisi Pemilihan Umum, dan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, selain terdapat godaan yang modusnya mirip di komisi III, ada juga modus-modus lain.
Misalnya, berkaitan dengan pembentukan pemekaran daerah, pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS), pemulusan rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan pemerintah, dan sebagainya.
Itu baru pengalaman di komisi II dan komisi III yang biasa dikenal sebagai komisi air mata. Bisa dibayangkan rekan-rekan yang berada di komisi-komisi perekonomian, seperti komisi IV yang antara lain membidangi pertanian dan kehutanan, komisi V yang membidangi perhubungan dan pekerjaan umum, komisi VII yang antara lain membidangi energi dan sumber daya mineral, komisi XI yang membidangi perencanaan pembangunan dan keuangan.
Di komisi-komisi yang biasa disebut sebagai komisi mata air ini, tentu godaan-godaan semakin banyak dan merangsang. Atau kawan-kawan anggota DPR yang merangkap menjadi anggota panitia anggaran, tentu saja godaan-godaan serba uang muncul setiap saat karena hampir semua departemen dan lembaga negara berkepentingan dengan berhasilnya memperoleh dana anggaran yang maksimal.
Demikian juga daerah-daerah yang menginginkan dan anggaran yang besar selalu mengincar para anggota panitia anggaran agar proyek-proyek di daerahnya mendapat pendanaan yang cukup baik dari dana anggaran umum (DAU), dana anggaran khusus (DAK), serta dana perimbangan antara pusat dan daerah.
Ternyata, melakukan praktik-praktik percaloan tidak perlu proaktif. Diam, duduk di ruang kerja saja, sudah banyak pihak yang menghubungi, baik langsung orang, pejabat yang berkepentingan, atau melalui perantara-perantara lagi yang hampir setiap hari berseliweran di sekitar gedung DPR.
Misalnya, mereka menunjukkan sejumlah proyek yang mereka ikuti tendernya, lalu anggota DPR diminta membubuhkan tanda tangan di kertas yang sudah disiapkan dengan ketikan rapi berisi permohonan kepada instansi yang membuka tender. Bapak tinggal tanda tangan, kami yang mengurus semua, ujarnya sambil menyodorkan segepok uang ratusan ribu rupiah dalam amplop besar dan tebal.
Saya sangat sering dirayu orang-orang yang mewakili perusahaan atau instansi tertentu untuk melakukan percaloan. Alhamdulillah, saya mampu menepis rayuan-rayuan itu. Bagi yang tipis imannya, pekerjaan semacam itu memang bisa dilakukan dengan ringan dan tanpa merasa bersalah. Sebab, bunyi surat pada kop surat dengan logo DPR RI dan nama anggota DPR yang sudah mereka siapkan, yang ditandatangani pun tidak aneh-aneh.
Misalnya, Mohon dibantu jika telah memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Terima kasih. Sepintas, tidak ada pemaksaan atau penekanan apa pun. Tetapi, jika dilihat hubungan anggota DPR dengan institusi mitra kerja yang meliputi legislasi, pengawasan, dan anggaran, substansi surat seperti itu tetaplah tidak patut dilakukan.
Belum lagi ada sejumlah departemen, seperti Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum, Menteri Negara Koperasi dan UKM, Departemen Pendidikan Nasional, serta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang mempunyai sejumlah pos anggaran yang bisa dikeluarkan kalau ada permintaan dari daerah atau lembaga-lembaga tertentu. Di situ biasanya anggota DPR mengetahui pos-pos anggaran apa saja yang bisa dicairkan atas permintaan dari luar. Di situ pula godaan percaloan terbuka lebar.
Selain model percaloan yang dilakukan anggota secara perorangan maupun berkelompok, yang lebih jahat sebenarnya percaloan yang mengatasnamakan fraksi atau komisi. Tiba-tiba pimpinan fraksi menghimpun tanda tangan sejumlah anggota untuk mengajukan hak angket atau interpelasi.
Tapi, saat pengajuan angket atau interpelasi itu menjelang diparipurnakan untuk diambil keputusan, oknum pimpinan fraksi menjadikan kumpulan tanda tangan tersebut untuk alat tawar kepada pemerintah, apa itu berupa kepentingan politik atau imbalan materi. Hal semacam ini sulit dibuktikan, tetapi dapat dirasakan.
Ada anggota yang secara sadar diperalat, banyak juga yang dengan polosnya tidak mengetahui tanda tangannya menjadi alat barter. Oknum pimpinan komisi juga dapat melakukan hal serupa dengan memanfaatkan keluguan para anggotanya.
Ketika Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara Taufik Efendy menggagas perlunya pakta yang perlu ditandatangani pejabat negara untuk ikut memberantas korupsi, saya bukannya anti terhadap pakta itu.
Tetapi, seperti yang pernah saya kemukakan kepada Men PAN, sebenarnya sumpah jabatan bagi para pejabat negara, termasuk anggota DPR saat dilantik, sudah cukup memagari mereka untuk melakukan korupsi. Bukankah dalam sumpah jabatan itu ada kalimat yang intinya tidak menerima imbalan apa pun yang bukan dari negara.
Sumpah jabatan itu jika dihayati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sudah merupakan komitmen yang kuat. Praktik-praktik percaloan di DPR pun tidak akan terjadi. Para anggota DPR pun tidak perlu bersuara keras mengecam atau mendesak mitra kerja untuk melakukan sesuatu yang ujung-ujungnya memuluskan aksi percaloan mereka.
Dalam kasus terakhir, kasus percaloan dana bencana, sebenarnya mudah melacak siapa-siapa ketujuh anggota DPR yang terlibat percaloan itu. Tentunya tidak jauh-jauh dari siapa saja yang paling nyaring mendesak Menko Kesra untuk segera mencairkan dana bencana ke departemen-departemen terkait. Sayang, sekali lagi, kasus itu buru-buru ditutup. Kalau tidak, akan jelas siapa saja anggota DPR yang bermental calo dan siapa saja yang benar-benar menjalankan amanah sebagai wakil rakyat.
Anggota DPR atau fraksi-fraksi di DPR tidak bersikap seperti cacing kepanasan menanggapi isu percaloan untuk kesekian kalinya. Mestinya DPR malah berterima kasih ada yang mengungkap kasus itu untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pengusutan oleh fraksi masing-masing maupun Badan Kehormatan DPR.
Tindakan yang dilakukan Ketua DPR Agung Laksono dan Menko Kesra Aburizal Bakri sebenarnya sama buruknya dengan percaloan yang dilakukan tujuh anggota DPR itu. Entah kalkulasi politik apa lagi yang mendorong keduanya menyepakati penutupan kasus itu. Wajar kalau kemudian ada yang menuding bahwa pemerintah (khususnya Menko Kesra) dengan penutupan kasus itu seolah sudah mendapatkan keuntungan satu poin. Sewaktu-waktu bisa (atau jangan-jangan malah sudah) dibarter dengan Ketua DPR Agung Laksono. Namun, soal kebenarannya, wallahu a