Gonjang-Ganjing Listrik Nasional

 Byar pet..byar pet.. inilah kondisi kelistrikan nasional kita. Ya..beberapa bulan terakhir Perusahaan Listrik Nasional (PLN) memang rajin melakukan pemadaman bergilir di seluruh wilayah Indonesia. Seringnya pemadaman bergilir ini membuat masyarakat dan sektor industri merugi. Maka tidak aneh jika banyak yang berseloroh bahwa PLN sebagai Perusahaan Lilin Negara.

 

Kinerja PLN memang belum menunjukan peningkatan yang signifikan, padahal BUMN ini terus menggantungkan diri dari subsidi APBN. Pada APBN 2008, PLN mendapatkan alokasi subsidi sebesar Rp 28,5 triliun dan diperkirakan meningkat sebesar Rp 60,43 triliun pada tahun 2009.

 

Ironisnya peningkatan subsidi tidak diikuti dengan perolehan keuntungan bahkan PLN terus merugi serta terbebani utang biaya bahan bakar minyak kepada pertamina sebesar Rp 40 triliun.

 

PLN berkilah, pemadaman listrik bergilir yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh dampak faktor cuaca yang  menyebabkan terhambatnya pasokan bahan baku. Selain itu karena adanya krisis minyak dunia yang disebabkan tidak seimbangnya perkembangan kebutuhan listrik nasional dengan pasokan bahan bakar listrik.

 

Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2008 memang sangat berdampak pada PLN, apalagi banyak pembangkit PLN yang notabene tergantung dengan BBM. Namun pertanyaannya, apakah benar kenaikan harga minyak dunia menjadi faktor utama meruginya PLN ?

 

Seperti diketahui, konsumsi listrik saat ini didominasi di wilayah Jawa-Bali yakni sekitar 80 persen dari konsumsi listrik nasional. Pengadaan kebutuhan listrik tersebut ditopang oleh keberadaan PT Pembangkit Jawa-Bali, PT Jawa Power dan PT Indonesia Power sebagai anak perusahaan PLN.

 

Tabel 1 : produksi konsumsi listrik nasional per tahun (GWh)

Tahun

Produksi

Konsumsi

2007

143.682,02

121.521,81

2006

126.168,62

112.609,80

2005

124.449,59

107.031,26

2004

120.244,59

99.425,79

2003

113.019,68

90.439,69

2002

108.191,35

87.409,19

 

Secara sederhana peningkatan konsumsi listrik nasional ditengah melambungnya harga minyak dunia sangat berpengaruh pada biaya produksi listrik, khususnya komponen biaya bahan bakar minyak yang merupakan komponen biaya terbesar. Kondisi inilah yang menjadi salahsatu penyebab limbungnya PLN apalagi tarif dasar listrik tidak serta merta mengalami penyesuaian.

Kondisi tersebut menjadi problematika klasik bagi PLN karena memang tidak ada upaya serius dari Pemerintah dan PLN sendiri untuk mengupayakan energi alternatif seperti gas dan batu bara, akibatnya PLN terus menerus merugi pada Pertamina.

 

Seperti dikatakan Imam dari Serikat Pekerja pembangkit Jawa Bali (SP-PJB) bahwa menggunakan bahan bakar gas bisa menghemat 12 persen atau sekitar Rp100 trilyun. ”Kendalanya pemerintah tidak membuat kebijakan atau regulasi agar perusahaan gas nasional mensuplai gas untuk bahan bakar pembangkit listrik nasional”, ujarnya lebih lanjut.

 

Direktur Institute For Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan bahwa pemerintah memang tidak memiliki kapasitas atau tidak mau mengembangkan ladang gas sendiri. ”Ada ketergantungan dengan investasi yang mengembangkan ladang gas, sementara untuk ladang gas yang sudah ada justru ada masalah negosiasi dengan deliver gasnya”. Ujar Fabby

 

Hal serupa terjadi pada bahan bakar batu bara dimana kebutuhan PLN terhadap batubara sebagai energi primer belum sepenuhnya tercukupi. Saat ini total produksi batubara Indonesia mencapai 200 ton pertahun sedangkan PLN sendiri membutuhkan 30 ton pertahun atau sekitar 15 persen dari total produksi nasional. Jumlah tersebut belum cukup aman untuk mengantisipasi kebutuhan PLN seandainya terjadi krisis batubara. Apalagi pemerintah memprogramkan 10.000 MW yang mengandalkan batu bara sebagai pembangkit.

 

Walaupun krisis energi menjadi isu global namun untuk PLN bukanlah persoalan utama. Rendahnya transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen PLN tetap yang dominan. Menurut mantan ketua serikat pekerja pusat PLN, Guruh Aryo, pemadaman listrik yang terjadi saat ini lebih karena adanya persoalan miss-manajemen. “ Miss-manajemen terjadi dalam perawatan serta pemakaian part pembangkit yang tidak sesuai dengan SOP (Standard Operating Procedure) dan mark up anggaran persoalan mendasar di PLN” tegasnya lebih lanjut.  

 

Problem Listrik Swasta

 

Cikal bakal problem listrik di indonesia sudah mulai muncul sejak kran swastanisasi pengelolaan listrik dibuka. Seperti diketahui keterlibatan swasta dalam pengelolaan listrik di justifikasi PP No. 10 Tahun 1989 tentang izin usaha kelistrikan (IUK). Sejak saat itu monopoli PLN mulai berkurang terlebih sejak dibukanya kontrak kerja dengan PT Paiton Energy Company (PEC).

 

Namun diindikasikan dalam proses swastanisasi sarat dengan nuansa KKN yang melibatkan bisnis keluarga Cendana, misalnya saja kontrak kerja dengan PT Paiton Energy Company (PEC).

 

PLTU Paiton yang terletak di wilayah Probolinggo, Jawa Tengah hingga kini membawa turunan permasalahan dalam kesepakatan kontrak terdahulu, misalnya tentang klausul Take or Pay antara PLN dengan PT PEC. Konskuensi dari kalusul ini, pada tahun 2000 PLN harus menyediakan dana untuk membayar listrik swasta tersebut sebesar Rp 8,1 trilyun termasuk kepada pihak Paiton I yang belum menyalurkan listrik ke jaringan PLN. Akibat lemahnya posisi tawar dalam kontrak ini PLN harus mengistirahatkan sejumlah pembangkit miliknya.

 

Begitu juga dalam kasus PLTU Paiton Unit 3-4 yang kini menjadi proyek PEC, Serikat Pekerja pembangkit Jawa Bali (SP PJB) ketika berdiskusi di kantor ICW sangat menyesalkan Paiton 3-4 dikelola oleh asing. Menurut Ketua SP PJB, Edi Hartono, jika Paiton 3-4 dikelola oleh PT PJB tarifnya akan lebih murah karena harga jual listrik PT PJB Rp 292,37/kWh sedangkan harga PT PEC mencapai Rp 596,88/kWh .

 

Permasalahan yang diwariskan pada jaman orde baru begitu kuat mengakar dalam tubuh PLN sehingga membuat PLN sulit memacu kinerja secara maksimal. Atas permasalahan ini, Faby Tumiwa kembali menegaskan jika mengatakan permasalahan di PLN sudah campur baur dimana aspek teknis dan non teknis sudah saling tumpang tindih. ”PLN akan sulit kembali pulih seperti sebelum krisis moneter karena mulai dari tahap pembangkit, transmisi sampai distibusi sudah tidak aman dari titik penyelewengan”. Ujarnya

 

Pada akhirnya persoalan transparansi dan akuntabilitas di tubuh PLN dan swasta menjadi persoalan utama yang harus dibenahi. Sejauh ini, masyarakat selalu terkena dampak atas berbagai kebijakan pemerintah termasuk manajemen internal PLN yang serba tertutup. Oleh karena itu perlu ada komitmen untuk membenahi kinerja BUMN agar lebih efektif dan efisien. (Norman/Agus)

 

Tabel 2 : Beberapa Poyek Listrik Jaman Orde Baru

Proyek

Kapasitas

Nilai Investasi

Pemilik

Keterkaitan dengan Keluarga Cendana

PLTU Paiton 1

Probolinggo, Jatim.

 

2 x 615 MW

 

US $ 2.500 juta

PT PEC, dengan pemegang saham Mission Energy (32,5%), General Electric (20%), Batu Hitam Perkasa (15%)

Ada saham Siti Hediati Prabowo dan Hashim Djojohadikusumo di Batu Hitam Perkasa

PLTU Paiton 2

Probolinggo,

Jatim.

 

2 x 610 MW

 

US $ 1.980 juta

PT Jawa Power, dengan pemegang saham Siemens (50%), PT Bumi Pertiwi Tatapradipta (15%), Power Gen (35%)

Ada saham Bambang Trihatmodjo di Bumi Pertiwi Tatapradipta

PLTU Tanjung Jati A

Jepara, Jateng.

 

2 x 660 MW

 

US $ 1.660 juta

PT Tanjung Jati Power, dengan pemegang saham Grup Bakrie (20%), PT Maharani Paramitra (20%),  Tomen Co. (30%), Energy Power Asia Ltd (30 %)

Pemilik PT Maharani Paramitra adalah Siti Hediati Prabowo

PLTU Tanjung Jati B

Jepara, Jateng.

 

2 x 660 MW

 

US $ 1.150 juta

PT HIPower Tubanan I, dengan pemegang saham PT Consolidated Electric Power Asia (CEPA) Indonesia (80%), Djan Faridz (20%)

Djan Faridz adalah rekanan bisnis Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut)

PLTG Sengkang,

Sulawesi Selatan

135 MW

US $ 182 juta

PT Eneri Sengkang

Ada saham Mbak Tutut

Sumber : Hutang di balik Listrik Swasta, Fauzie Yusuf Hasibuan, SH., MH., dkk

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan