Granadi Dijadikan Sita Jaminan; Kasus Dugaan Korupsi Soeharto
Kejaksaan Agung sudah menginventarisasi kekayaan mantan Presiden Soeharto yang akan dijadikan jaminan kasus dugaan korupsi. Dalam gugatan perdata kasus dugaan korupsi tujuh yayasan itu, untuk tahap pertama, Gedung Granadi dimasukkan sebagai aset yang diminta pengadilan untuk disita jaminan (conservatoir beslag).
Aset Soeharto dan kroni Cendana lainnya belum diajukan sebagai sita jaminan. Aset tersebut, antara lain, rumah Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat; Taman Mini Indonesia Indah (TMII); aset pribadi dan perusahaan milik Tommy Soeharto (termasuk Grup Humpuss); serta kawasan peternakan Tapos di Bogor.
Untuk tahap pertama memang hanya Gedung Granadi. Aset lain nanti bisa diajukan menyusul, kata Direktur Perdata pada JAM Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejagung Yoseph Suardi Sabda saat dihubungi koran ini kemarin. Gugatan itu dipastikan didaftarkan hari ini.
Menurut dia, JPN mengikuti materi penyitaan yang diajukan pada proses pidana dalam kasus korupsi tujuh yayasan. Kalau ada perkembangan baru, aset-aset lain nanti bisa disitajaminankan lagi, jelas jaksa berkacamata minus tersebut.
Berdasar catatan koran ini, selain Gedung Granadi, pada 21 Juli 2000, Kejagung menyita sebuah vila seharga Rp 1,5 miliar (1997) milik Yayasan Dakab di kawasan Megamendung, Bogor.
Ditanya soal nilai taksiran Gedung Granadi, Yoseph menyatakan bahwa kejaksaan belum menghitung. Langkah kami belum ke sana, ujarnya.
Yang pasti, dengan sita jaminan tersebut, gedung berlantai 12 itu tidak dipindahtangankan ke pihak lain.
Jaksa Agung Hendarman Supandji telah menyetujui isi seluruh berkas gugatan, termasuk memasukkan Gedung Granadi dalam sita jaminan. JPN mendalilkan bahwa sebagian uang negara dalam yayasan digunakan membeli Gedung Granadi, sehingga bangunan tersebut harus disita.
Soeharto selaku ketua yayasan menjadi tergugat I. Tergugat II adalah pengurus yayasan. Yayasan Supersemar digugat karena dianggap melawan hukum dalam menyalurkan dana dari masyarakat dan pemerintah untuk kepentingan di luar pendidikan serta sosial. Dana yayasan justru mengalir ke perusahaan milik keluarga Cendana seperti PT Sempati Air, PT Kiani Kertas, PT Timor Putra Nasional, dan PT Goro Batara Sakti. Uang itu juga diketahui mengalir ke Nusamba Group dan Pelita.
Gedung Granadi pernah disita kejaksaan terkait kasus pidana, korupsi tujuh yayasan, pada 22 Juli 2000. Gedung beralamat di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, itu disita bersama sebuah vila milik Yayasan Dakab seharga Rp 1,5 miliar (1997) di Megamendung, Bogor. Khusus Gedung Granadi, kejaksaan menitipkan penyitaan ke pengelolanya, PT Granadi.
Di Gedung Granadi, berkantor enam yayasan yang pernah diketuai Soeharto, yaitu Supersemar, Dakab, Dana Sejahtera Mandiri, Dharmais, Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan Purnabhakti Pertiwi. Selain itu, gedung tersebut disewakan untuk perkantoran Grup Humpuss. Salah satu di antaranya adalah PT Humpuss Intermoda Tbk, perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki Tommy Soeharto. Selebihnya, Gedung Granadi digunakan sebagai pusat pengobatan stroke tercanggih, Nusantara Stroke and Medical Center.
Sedangkan vila milik Yayasan Dakab digunakan untuk tempat peristirahatan para pinisepuh Partai Golkar dan para pengurus yayasan.
Saat ini Gedung Granadi dikelola PT Granadi. Perusahaan itu dimiliki Yayasan Supersemar (20 persen), Yayasan Dharmais (20 persen), Yayasan Dakab (20 persen), Yayasan Purnabhakti Pertiwi (10 persen), dan Yayasan Tabungan Pertamina (20 persen).
Gedung Granadi berlantai 12 dengan menempati tanah seluas 29.945 meter persegi, dengan rincian bangunan 1.152 meter persegi dan tanah 8.125 meter persegi. Dari sejarah kepemilikannya, gedung tersebut awalnya merupakan barang sitaan kejaksaan pada 1980-an yang diserahkan ke Sekretariat Negara (Setneg).
Soeharto selaku ketua Yayasan Supersemar lantas mengajukan permintaan ke Setneg untuk dapat mengelola gedung dan tanah untuk yayasan. Pada 1990, Yayasan Supersemar mengajukan permintaan agar gedung itu dapat digunakan untuk kegiatan sosial.
Selanjutnya, pada 26 Februari 1990, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan hak pakai gedung kepada lima yayasan, yaitu Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan Yayasan Purnabhakti Pertiwi. Hak pakai tersebut selama dipergunakan untuk kepentingan sosial. Sayang, dalam kenyataannya, gedung tersebut tak hanya digunakan untuk kepentingan sosial, tetapi juga disewakan ke sejumlah perusahaan, termasuk Grup Humpuss.
Semasa penyidikan kasus korupsi Soeharto, kejaksaan ikut menyita 17 aset milik Tommy yang tersebar di ibu kota. Hingga kini, baru dua rumah di kawasan Jalan Cendana, Jakarta Pusat, yang berhasil disita. Sedangkan 15 aset lainnya tak bisa disita karena telah dialihkan atau diagunkan.
Anggota JPN lain, Tambock Nainggolan, mengatakan, dalam rapat dengan jaksa agung disepakati beberapa aset yang masuk sita jaminan. Apa saja aset maupun nilainya, saya nggak ngikuti. Saat membahas itu, saya keluar ruangan, ujar Tambock yang dihubungi koran ini tadi malam.
Soal aset rumah Soeharto di Jalan Cendana dan TMII, Tambock memastikan, aset tersebut belum diajukan sita jaminan. Sebab, sebelum terjadi kasus korupsi pada tujuh yayasan, aset-aset tersebut sudah ada. Nggak ada kaitannya (dengan kerugian negara Rp 1,7 triliun), jelasnya. Selain itu, aset-aset tersebut tidak pernah disita semasa kejaksaan menyidik kasus korupsi tujuh yayasan yang pernah diketuai Soeharto.
Menurut Tambock, kejaksaan tetap memprioritaskan langkah perdamaian alias mediasi meski memasukkan aset-aset dalam sita jaminan. Selain mempercepat proses peradilan, mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2003. Kalau ada mediasi, tentu lebih baik, ujarnya. Praktis, dalam mediasi, materi gugatan kejaksaan akan dikompromikan dengan kubu Soeharto. Itu bisa dilaksanakan jika kubu tergugat siap menyetorkan seluruh materi gugatan senilai total Rp 11,5 triliun ke kejaksaan.
Di tempat terpisah, Ketua JPN Dachmer Munthe memastikan, berkas gugatan akan didaftarkan hari ini atau selambat-lambatnya Selasa besok. Besok (hari ini) kan ada upacara pembukaan pekan olahraga kejaksaan. Nah, kalau pagi nggak bisa, mungkin siang sekitar jam satu (pukul 13.00), kata Dachmer yang dihubungi koran ini kemarin.
Menurut dia, JPN telah melaporkan seluruh isi gugatan kepada jaksa agung. Jaksa agung setuju dengan isi gugatan itu. Beliau mendukung kami. Dan, kami diminta serius, jelas Dachmer. Selebihnya, mantan wakil kepala Kejati NTT itu menolak menyebutkan isi pertemuannya dengan jaksa agung.
Dachmer membeberkan, dalam berkas gugatan setebal 15 halaman, tidak ada penambahan saksi. Kejaksaan menggunakan saksi ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung kerugian negara. Saksi dari keluarga Soeharto tidak kami ajukan. Sebab, mereka bisa saja mundur dengan alasan ada hubungan dengan tergugat, jelasnya. Alat bukti berupa dokumen fotokopi, JPN tidak mempermasalahkan lagi karena saksi fakta mendukung dokumen-dokumen tersebut.
Secara terpisah, pengacara Soeharto, Juan Felix Tampubolon dan Elza Syarief, mengatakan, gugatan terhadap Soeharto terlalu mengada-ada. Saya yakin akan gugur dalam persidangan, kata Juan Felix. Sebab, Soeharto tidak pernah menikmati sedikit pun uang yayasan. Aliran uang yayasan ke sejumlah perusahaan bertujuan mendapatkan keuntungan. Selama ini ada bukti bahwa hasil dari penempatan dana di perusahaan justru membuat yayasan sanggup memberikan beasiswa kepada ribuan pelajar.
Pengacara Soeharto lain, M. Assegaf, juga mengatakan hal senada. Menurut dia, jika kejaksaan berniat menggugat, seharusnya pihak yang kali pertama digugat adalah pengurus yayasan. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 9 Juli 2007