Gubernur Kaltim Divonis 1,5 Tahun Penjara
Gubernur (nonaktif) Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah divonis hukuman 1,5 tahun serta didenda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan atas kasus penyalahgunaan lahan dan izin pemanfaatan kayu (IPK). Putusan menjelis hakim yang diketuai Gusrizal jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa dari KPK yang sebelumnya menuntut hukuman tujuh tahun penjara.
Dalam persidangan kemarin, majelis hakim menilai unsur melawan hukum dalam dakwaan primer bagi pria kelahiran Bogor itu tidak terpenuhi.
Menurut majelis, Suwarna dalam kapasitas sebagai gubernur Kaltim, mengeluarkan kebijakan perkebunan kelapa sawit sejuta hektare dan menerbitkan izin pengelolaan kayu (IPK) kepada sepuluh perusahaan yang tergabung dalam PT Surya Dumai Group (SDG) di Kaltim.
Secara yuridis, tidak ada ketentuan pasti siapa yang berwenang menerbitkan IPK. Tindakan terdakwa tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, ucap Gusrizal dalam sidang yang dimulai pukul 10.40, molor dari agenda sidang pukul 10.00.
Selain itu, dakwaan oleh jaksa penuntut KPK bahwa terdakwa memberikan rekomendasi kepada sepuluh perusahaan SDG dari kewajiban pemberian provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi (PSDH-DR) atau disebut juga bank garansi -salah satu syarat untuk memiliki IPK- juga dianggap tak terbukti.
Menurut majelis, pemberian rekomendasi itu bukan inisiatif terdakwa, namun dari Kakanwil Kehutanan dan Perkebunan Kalimantan Timur. Untuk itulah, majelis menyatakan dakwaan primer tak terbukti, ucap hakim anggota Edwar Pattinasarani yang disambut pekikan Allahuakbar dan tepuk tangan para penduklung Suwarna yang memadati ruang sidang.
Namun, kegembiraan kerabat dan sekitar 97 anggota jamaah Majelis Dzikir As-Samawaat itu tak berlangsung lama. Lepas dari dakwaan primer, Suwarna harus menghadapi dakwaan sekunder yang dipersiapkan JPU, yakni pasal 3 UU Antikorupsi. Meski tak terbukti memperkaya diri sendiri, purnawirawan mayjen (TNI) tersebut terbukti menguntungkan orang lain, yakni pemilik SDG -Martias- terkait kebijakan pembukaan lahan kelapa sawit sejuta hektare tersebut.
Selain itu, terdakwa terbukti memenuhi unsur menyalahggunakan kewenangan sebagai gubernur dalam penegakan aturan PSDH-DR. Terdakwa justru memberikan kelonggaran-kelonggaran. Itu melangkahi kewenangan sebagai gubernur, ujar hakim anggota Sofialdi.
Majelis hakim sepakat dengan tuntutan JPU dalam dakwaan primer. Pernyataan JPU yang menyatakan adanya kerugian negara Rp 5,167 miliar juga disepakati. Angka kerugian negara Rp 346,8 miliar (sesuai dengan audit BPKP tanggal 4 Oktober 2006, Red) tidak didasarkan audit lapangan. Namun, karena tidak ada kerugian negara yang dinikmati terdakwa, Suwarna tidak diwajibkan membayar uang pengganti.
Sebagai gubernur, terdakwa tidak memberikan teguran pada perusahaan yang tidak mengelola lahan sehingga lahan yang seharusnya digunakan untuk perkebunan kelapa sawit terbengkalai, ucap Gusrizal membacakan salah satu unsur yang memberatkan terdakwa.
Namun, putusan hakim tidaklah bulat. Hakim ad hoc Slamet Subagyo mengajukan dissenting opinion. Menurut dia, dari fakta-fakta persidangan, secara yuridis, unsur-unsur dalam dakwaan primer -melakukan tindakan turut serta (medepleiger)- terpenuhi.
Soal kerugian negara, Slamet yang bersuara kecil mengungkapkan jumlah Rp 5,167 miliar bukanlah angka pasti. Bahkan, data BPKP pun belum semuanya. Kerugian Rp 346,8 miliar adalah nilai tebangan yang ditetapkan Deperindag di lokasi, bukan harga pasar. Stok opname belum diperhitungkan, ujarnya.
Meski dihukum jauh di atas tuntutan, pihak Suwarna menyatakan banding. Kami pasti banding, tapi kami gunakan hak satu minggu untuk pikir-pikir, ungkap pengacara Suwarna, K.G. Widjaja. Sama dengan pengacara, JPU yang dipimpin oleh Wisnu Baroto juga menyatakan pikir-pikir.
Digeledah
Kejaksaan Agung (Kejagung) terus memburu bukti-bukti tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan Widjanarko Puspoyo saat menjabat Dirut Perum Bulog.
Kemarin, misalnya, tim penyidik Kejagung menggeledah rumah dan ruang kerja Widjan di Kantor Perum Bulog, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Ruang kerja Widjan di beberapa perusahaan Grup Adaya di Jalan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, juga tak luput dari penggeledahan.
Kediaman Widjan yang diobok-obok adalah rumah berlantai II di kawasan elite Jalan Darmawangsa VIII, Kebayoran Baru.
Dari penggeledahan itu, petugas menemukan setumpuk dokumen Di antaranya, buku rekening dan berbagai catatan transaksi keuangan. Plt JAM Pidana Khusus (Pidsus) Hendarman Supandji dan Direktur Penyidikan M. Salim selaku koordinator penggeledahan membenarkan temuan tersebut. Iya, itu (rekening dan catatan transaksi keuangan) ada.
Menurut dia, dokumen tersebut akan dievaluasi, apakah terkait kasus impor sapi fiktif atau tiga kasus lain. Tim penyidik berupaya mengungkap unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain. (Data itu) sebagai bahan menjerat pasal 5, 11, 12, dan 13 (UU No 31 Tahun 1999), kata Hendarman. Empat pasal tersebut merupakan dasar sangkaan bagi pejabat yang menerima gratifikasi (hadiah) terkait jabatan dan kewenangannya.
Salim menambahkan, dari penggeledahan itu, disita beberapa catatan keuangan. Tim penyidik belum menyimpulkan transaksi mencurigakan. (agm/ein)
Sumber: Jawa Pos, 23 Maret 2007