Gubernur Puteh Jadi Tersangka Korupsi [30/06/04]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin resmi menetapkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan helikopter Mi-2.
Dari hasil penyelidikan ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian negara Rp 4 miliar, kata Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Pangabean kepada wartawan kemarin.
Menurut Pangabean, surat panggilan kepada Puteh sebagai tersangka sudah dilayangkan. Rencananya, Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) Aceh itu akan diperiksa KPK pekan depan.
Hingga kemarin, hanya Puteh yang menjadi tersangka kasus pembelian helikopter Mi-2 senilai Rp 12,5 miliar milik Pemda Aceh. Itu masih dalam pengembangan penyidikan. Mungkin ada tersangka lainnya, kata Pangabean.
Abdullah Puteh mengaku belum menerima surat resmi dari KPK menyangkut penetapan dirinya sebagai tersangka. Dia menolak berkomentar lebih jauh mengenai penyelidikan kasus pembelian helikopter PLC Rostov buatan Rusia itu. Ya, kami menghormati proses hukum, apa pun yang menjadi keputusannya. Itu saja, kata Puteh kemarin.
Sementara itu, Koran Tempo memperoleh selembar fotokopi surat berisi permintaan agar pimpinan KPK mempertimbangkan waktu pemanggilan Abdullah Puteh. Surat tertanggal 14 Juni 2004 itu diteken Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno.
Isi salinan surat bernomor R.37/Menko/Polkam/6/2004 itu antara lain berbunyi, Tanpa bermaksud mencampuri kewenangan instansi Saudara dalam penegakan hukum yang diperlukan, dengan ini Menko Polkam selaku Ketua Badan Pelaksana Harian Penguasa Darurat Sipil mengharapkan pimpinan KPK dapat mempertimbangkan waktu bagi Saudara Abdullah Puteh.
Dalam surat itu juga disebutkan dua alasan untuk meminta pertimbangan waktu pemanggilan Puteh, yaitu bahwa yang bersangkutan sedang menjalani proses pemeriksaan di Mabes Polri. Selain itu disebutkan, Agar tersedia cukup ruang dan waktu bagi yang bersangkutan selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah dalam melaksanakan tugasnya.
Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas membenarkan pernah menerima dua surat dari Hari Sabarno berkaitan dengan kasus di Aceh. Namun, Saya tidak tahu surat mana yang Anda maksud, katanya saat ditanya apakah dia menerima surat permintaan pertimbangan waktu pemanggilan Puteh dari Hari Sabarno.
Meskipun Puteh sudah berstatus tersangka, Menteri Hari Sabarno hingga kemarin belum memutuskan untuk menonaktifkan dia sebagai gubernur maupun PDSD. Semua tergantung DPRD setempat, katanya. Padahal, sebelum ini, dia pernah mengatakan, Puteh akan dinonaktifkan bila jadi tersangka.
Menurut Hari, posisi pemerintah hanya bertanggung jawab dalam hal penyelesaian administrasi negara dan bukan keputusan politiknya. Karena itu, katanya, posisi Puteh akan sangat tergantung pada keputusan politik yang diproses melalui DPRD Aceh.
Hari menjelaskan, selama status Puteh belum berkekuatan hukum tetap, dia tetap pada posisinya sebagai gubernur dan PDSD. Jika sudah ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap, secara otomatis Puteh langsung berhenti dari jabatannya.
Hari mengharapkan proses hukum KPK tidak mengganggu kesibukan sehari-hari Puteh. Saya harapkan pemeriksaan Puteh disesuaikan dengan posisi kerja sebagai kepala daerah dan penguasa darurat sipil, kata Hari lagi.
Menurut Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR Ferry Mursyidan Baldan, pemerintahan NAD akan sulit berjalan normal jika Puteh dinonaktifkan atau diberhentikan. Menurut Undang-Undang Otonomi Khusus, wakil gubernur dan pejabat caretaker gubernur sekalipun tidak bisa menjadi pengganti, kecuali diadakan pemilihan langsung, katanya.
Karena itu, Ferry berpendapat, sebelum keputusan hukum berkekuatan tetap, Puteh tetap bertugas sebagai gubernur dan penguasa darurat sipil di Aceh. Kita harus melihat kepentingan Aceh yang mulai pulih dan jangan sampai kembali ke posisi semula, ujar anggota Fraksi Partai Golkar itu. lis yuliawati/ecep yasa/yuswardi
Sumber: Koran Tempo, 30 Juni 2004