Guru Anak-anak TKI di Sabah Diterlantarkan
Syahdan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke Malaysia barangkali iba ketika melihat anak-anak TKI di Malaysia pendidikannya tak terurus. Untuk itu ia merekomendasikan wapres Jusuf Kalla meminta depdiknas mengirimkan guru ke Malaysia. Tapi program kesepakatan tak tertulis Indonesia-Malaysia ini membuahkan persoalan. Penempatan guru tidak tetap ini kacau dan mereka ditelantarkan. Untuk itu mereka menuntut agar manajemen program itu diperbaiki sehingga pola pengajaran kepada anak-anak TKI menjadi lebih optimal.
Mereka menggelar konferensi pers di kantor ICW Kalibata, 2 September 2008. "Gaji yang dijanjikan di kontrak kerja ternyata tak sesuai dengan kenyataan di lapangan," kata anggota Forum Guru Tidak Tetap untuk Pendidikan Anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah (FGTTS), Khoirul Wajid.
Perlu diketahui, di Sabah, pemerintah Malaysia menyediakan fasilitas pendidikan melalui lembaga swadaya masyarakat bernama Humana Child Aid Society. Namun, guru dari Humana hanya mengajarkan sebatas baca-tulis. Sedangkan guru Indonesia tak hanya mengajar mata pelajaran sekolah, tapi juga agama dan tata krama. Lantas, Guru tidak tetap asal Indonesia yang terseleksi dan berpendidikan minimal strata satu itu kemudian ditempatkan di pusat-pusat belajar yang dikelola Humana. ”Pusat belajar itu tidak mengeluarkan ijazah sehingga anak- anak kesulitan melanjutkan pendidikan,” kata guru Khoerul Wajid yang juga Wakil Koordinator Batch I program itu.
Rp 6,050 juta per bulan. Ini berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. Ternyata yang diperoleh hanya Rp 4,9 juta. Selebihnya dipotong untuk administrasi pembelajaran Rp 1 juta, potongan asuransi kesehatan Rp 37.500, dan asuransi kecelakaan Rp 42.500.
Khoirul bersama 108 guru yang bertugas di perkebunan kelapa sawit ini dijanjikan gaji awal Rp 6.032.000 per bulan. Namun, kenyataannya, yang diterima mereka hanya Rp 4.937.500 lantaran dipotong biaya administrasi pembelajaran sebesar Rp 1.050.000.
Padahal, guru-guru tidak merasakan hasilnya, begitu pula dengan potongan asuransi yang menurut guru tidak banyak bermanfaat. Guru juga tidak mendapatkan pelayanan yang layak dari Malaysia. Saat sakit, mereka harus mengeluarkan biaya lagi. Padahal, biaya asuransi setiap guru berjumlah 800 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 2 juta. Salah seorang guru, Murnilawati, bahkan sempat tidak mendapat gaji selama enam bulan.
”Rapelannya baru diterima sesampainya di Indonesia dan itu pun setelah ditagih,” ujarnya. Sebagai guru tidak tetap, nasib mereka sepulangnya ke Tanah Air juga belum ada kejelasan.
Jumat pekan lalu, sebenarnya 51 guru kelompok terbang pertama yang tiba di Indonesia melaporkan selisih gaji ini ke Departemen Pendidikan.
Tetep Saipul Ketua Forum Guru Tidak Tetap di Sabah mengatakan, mereka bekerja tanpa mengetahui secara jelas nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Malaysia, dan Humana Child Aid Society. Humana merupakan organisasi nonpemerintah pengelola pusat bimbingan belajar bagi anak TKI.
Di Sabah sendiri kondisi guru ini juga memprihatinkan. Sebagian dari mereka tinggal di ”sekolah” tanpa fasilitas dasar memadai, seperti keberadaan kamar mandi. Seorang guru, Syahrizal, harus berjalan kaki 1 kilometer untuk pergi ke sumber air keruh danau untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus.
Mereka juga harus mengajar multigrade. ”Satu kelas tidak hanya berisi gabungan kelas I, II, dan III, melainkan juga taman kanak-kanak nol kecil dan nol besar. Padahal, dalam pelatihan, kami hanya diberi tahu multigrade untuk level sekolah dasar saja,” ujar Khoerul.
Agar terdapat perbaikan, mereka meminta adanya evaluasi komprehensif terhadap program pengiriman guru untuk anak TKI di Sabah, baik mengenai keberadaan anak TKI maupun nasib guru.
Koran Tempo (3 September 2008) sempat menanyakan soal kasus penelantaran guru anak TKI ini kepada Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Baedhowi. Ia mengaku akan menimbang-nimbang untuk mengirim guru ke Sabah. "Kalau ada yang nuntut-nuntut yang kayak gini, ya, dipikir lagi," kutip Koran Tempo. Masih mengutip Koran Tempo, mengenai perbedaan gaji antara dalam surat keputusan dan kontrak kerja, menurut Baedhowi, yang berlaku adalah di kontrak kerja. [Lais Abid]