Hak Suara Dua Komisaris Pertamina Dibekukan
Hak suara dua Komisaris Pertamina, yakni Roes Aryawijaya dan Iin Arifin Takhyan, dibekukan dalam pengkajian dan pendalaman kasus penjualan tanker raksasa Pertamina. Langkah itu diambil supaya pengkajian oleh manajemen dapat lebih independen, mengingat kedua orang tersebut ikut menandatangani persetujuan penjualan tanker.
Roes saat ini sebagai penjabat Deputi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN) Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Telekomunikasi. Iin menjabat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Saya minta mereka berdua tidak terlibat dalam keputusan dewan komisaris untuk kasus ini. Keduanya kan ikut menandatangani persetujuan penjualan tanker. Hak suaranya untuk kasus ini tidak boleh digunakan supaya keputusannya independen, kata Menteri Negara BUMN Sugiharto di Jakarta, Senin (7/3).
Kalau ditemukan indikasi pelanggaran, pasti kami bawa ke polisi, ke pengadilan, untuk kami proses lebih lanjut. Tetapi, tentu kita harus menerapkan asas praduga tak bersalah. Yang membuktikan itu pengadilan, kata Sugiharto lagi.
Mengenai permintaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)-agar dilakukan tindakan hukum-Sugiharto mengatakan, sudah ada jadwal dan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam 14 hari maupun 30 hari ke depan.
KPPU menilai penjualan dua tanker raksasa milik Pertamina pada Juni 2004 merugikan negara sekitar 20 juta dollar AS hingga 56 juta dollar AS. Hal itu karena terjadi persekongkolan antara Pertamina dan Goldman Sachs sebagai pengatur (arranger) tender penjualan yang memenangkan Frontline Ltd dari Swedia sebagai pembeli.
Menurut KPPU, seharusnya tanker dapat dijual dengan harga 204 juta dollar AS hingga 240 juta dollar AS sesuai dengan harga pasar saat itu. Namun, tanker tersebut ternyata hanya dijual dengan harga 184 juta dollar AS kepada Frontline. KPPU memperoleh bukti persekongkolan bahwa Frontline, melalui brokernya (PT Equinox) diberi kesempatan memasukkan penawaran ketiga, saat batas waktu pengajuan penawaran telah ditutup 7 Juni 2004, melalui korespondensi melalui e-mail Equinox dengan Frontline pada 9 Juni 2004.
Perintah Jaksa Agung
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh telah memerintahkan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) dan JAM Intelijen untuk menangani kasus penjualan tanker ini.
Saya sudah perintahkan JAM Intel dan JAM Pidsus untuk menangani kasus ini, kata Abdul Rahman yang ditemui di Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Senin sore.
Perintah Jaksa Agung ini dibenarkan oleh JAM Pidsus Sudhono Iswahyudi yang dihubungi wartawan secara bersama-sama dari ruang pers Kejagung. Tadi Jaksa Agung sudah memberi petunjuk, tinggal menunggu masukan dari Menneg BUMN dan KPPU, lalu kita tindaklanjuti, kata Sudhono.
Ia menjelaskan, selain pembicaraan di lingkungan Pidsus, Kejagung juga segera berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memastikan apakah KPK juga sudah menindaklanjuti temuan KPPU tersebut.
Menurut Sudhono, walaupun sudah menangani kasus itu, kejaksaan dapat saja berhenti jika KPK memutuskan untuk mengambil penanganan kasus tersebut. Hal ini terkait dengan kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan diajukannya permintaan cekal atas Direktur Keuangan Pertamina Alfred Rohimone, Sudhono mengatakan, Kejagung baru dapat melakukan tindakan hukum jika sudah mempunyai bahan awal. Sikap yang sama dilakukan terkait dengan kemungkinan keterlibatan mantan Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi dan mantan Komisaris Utama Laksamana Sukardi.
Direksi lama
Ariffi Nawawi didampingi mantan Direktur Hulu Pertamina Bambang Nugroho dan Direktur Umum dan Sumber Daya dan Mineral Eteng A Salam mengatakan, direksi yang memutuskan penjualan tanker raksasa percaya, Direksi Pertamina saat ini, yang dipimpin Widya Purnama, akan mengambil tindakan yang tepat atas keputusan KPPU.
Ariffi ditemui secara kebetulan di Hotel Aryaduta, Jakarta. Saat itu ia sedang bertemu dengan dua mantan anggota Direksi Pertamina lainnya sambil minum teh. Ketiga mantan anggota direksi tersebut berjanji akan memberikan keterangan resmi.
Ariffi menegaskan, ketika Direksi Pertamina memutuskan menjual tanker raksasa, dua hal terpenting saat itu adalah menjualnya dengan harga tinggi dan memilih pembeli yang paling kredibel.
Ketiga mantan direktur itu juga menegaskan, mereka sudah mengambil keputusan sesuai proses tender yang bisa dipertanggungjawabkan. Yang terpenting, kami tidak mengambil satu sen pun dari penjualan tanker, ucap Bambang.
Belum final
Mantan Komisaris Utama Pertamina yang juga mantan Menneg BUMN Laksamana Sukardi ketika dihubungi, Senin malam, menyatakan, keputusan KPPU tersebut secara hukum belum bersifat final dan masih sepihak. Kasus itu seharusnya ditempatkan pada kaitan hukum dan tidak dipolitisasi sedemikian rupa.
Saya berpegang pada prinsip hukum saja. Keputusan final itu nanti di pengadilan. Juga ada batas waktu selama 14 hari sejak putusan tersebut dikeluarkan. Jadi, kita lihat saja di pengadilan. Saya kira, terlalu dini kalau saya harus memberikan komentar lebih jauh, kata Laksamana.
Ia menambahkan, Goldman Sachs selaku penasihat keuangan dan pengatur penjualan dua tanker raksasa itu bukan perusahaan kacang goreng. Saya kira Goldman Sachs tidak akan menerima begitu saja putusan sepihak KPPU. Mereka, saya kira, akan banding, ujarnya.
Menyinggung persetujuannya untuk menjual dua tanker raksasa itu, Laksamana mengatakan, prosesnya harus dilihat secara menyeluruh. Jangan ujungnya saja, katanya. (IDR/anv/joe/har/BOY)
Sumber: Kompas, 8 Maret 2005