Hakim Ad Hoc Otoritas MA; Komisi Yudisial Tak Akan Dilibatkan
Mahkamah Agung (MA) menolak keinginan Komisi Yudisial (KY) untuk dilibatkan dalam seleksi dan penentuan kelolosan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor).
Ketua MA Harifin Andi Tumpa menyatakan tak ingin lembaga lain terlibat dalam perekrutan hakim ad hoc karena hanya MA yang diberi amanah oleh undang-undang. ”Kami tidak akan melibatkan lembaga lain, termasuk KY. Selama ini dalam seleksi kami juga melibatkan unsur masyarakat yang diwakili akademisi dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mapi),” kata Harifin seusai melantik hakim agung baru, Rabu (9/11).
Dia memaparkan, hasil perekrutan hakim ad hoc sebelum ditetapkan diumumkan terlebih dulu kepada publik. Harifin menjelaskan KY tidak memberi masukan sehingga MA menganggap hakim ad hoc terpilih tidak bermasalah.
Termasuk Ramlan Comel yang telah membebaskan wali kota Bekasi nonaktif Mochtar Muhammad. ”Kalau tak ada masukan dari masyarakat, bagaimana MA bisa mengetahuinya? Memangnya MA malaikat?” tanya Harifin.
Dia menambahkan, pengadilan tipikor di daerah tak akan dibubarkan sepanjang tidak ada perubahan UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor. ’’Pengadilan tipikor di daerah tetap jalan selama undang-undang tidak diubah. Tidak ada pembubaran,’’ tandas dia.
MA juga tak sepakat dengan usulan moratorium pengadilan tipikor. Apabila dibekukan, proses persidangan beberapa kasus di daerah dinilai akan terbengkalai.
Pasal 3 UU No 46/2009 menyatakan bahwa pengadilan tipikor berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Pasal selanjutnya menyatakan bahwa khusus di DKI Jakarta, pengadilan ini berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Harifin menambahkan, pelimpahan kasus dari daerah ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dinilai mustahil. Biaya yang dikeluarkan untuk memboyong pihak-pihak yang berperkara ke Jakarta bukan urusan mudah.
Adapun Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, pro dan kontra pembubaran pengadilan tipikor merupakan bagian dari demokrasi. Karena itu, penyelesaiannya harus dilakukan dengan cara mengevaluasi kinerja lembaga tersebut.
Namun, Mahfud menyebut pengadilan tipikor tidak dapat serta-merta dibubarkan. Komisi Yudisial pun harus mengevaluasi kinerja para hakim pengadilan tipikor lebih mendalam.
Mahfud mengaku sudah berbicara dengan Ketua KY Eman Suparman. Mereka menunggu evaluasi yang akan disampaikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akhir November ini. ’’Menteri Hukum dan HAM juga sudah membentuk tim yang mempelajari kemungkinan usulan revisi UU Pengadilan Tipikor,’’ imbuh dia.
Dia menambahkan, sebelum pengadilan tipikor ada, sudah banyak pelaku korupsi di daerah yang terkena jerat hukum. Namun, begitu pengadilan tipikor di daerah berdiri, koruptor justru mendapat vonis bebas.
Terbiasa
Mantan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Jakarta yang kini menjadi hakim agung, Dudu Duswara, menyatakan pemeriksaan kasus korupsi di tingkat MA, khususnya kasasi jaksa penuntut umum atas vonis bebas pengadilan tipikor, akan melihat penerapan hukumnya. Dia enggan menanggapi kasus-kasus korupsi yang mendapat vonis bebas. ’’Sebagai hakim saya tidak boleh mengomentari keputusan hakim lain,’’ terang Dudu.
Menurutnya, reaksi masyarakat begitu kencang terkait vonis bebas karena terbiasa melihat putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. ’’Masyarakat hanya melihat Pengadilan Tipikor Jakpus selama tujuh tahun ini yang mengadili perkara dari KPK. Karena alat bukti komplet dan KPK tidak memiliki kewenangan SP3, maka putusannya belum pernah ada yang bebas,’’ ujar Dudu.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Nasir Jamil menilai irasional usulan pembubaran pengadilan tipikor di daerah. Selain bertentangan dengan UU Tipikor, usulan itu juga bentuk tindakan lepas tanggung jawab.
’’Kalau memakai peci kekecilan, apakah kepalanya harus dikecilkan? Seharusnya kita menukar peci yang lebih besar. Jangan karena terdakwa korupsi dibebaskan lalu ingin membubarkan pengadilan tipikor,’’ jelas Nasir.
Dia mengakui jika perekrutan hakim pengadilan Tipikor tergesa-gesa. Bahkan MA sempat mengeluhkan kurangnya hakim tipikor yang ideal.
Pola perekrutan hakim seperti pepatah tidak ada rotan akar pun jadi. ’’Itulah kondisi saat ini. Saya mendesak agar kompetensi dan kapasitas para hakim dan jaksa pengadilan Tipikor ditingkatkan,’’ tandasnya.
Nasir menyatakan vonis bebas tak menjadi masalah, bukan merupakan hal yang aneh. Sebab, vonis dijatuhkan berdasarkan tuntutan jaksa. ’’Bila tuntutan memang lemah dan fakta-fakta di persidangan tidak membuktikan tuduhan tersebut, hakim dengan keyakinannya bisa saja membebaskan terdakwa,’’ ujar dia.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah putusan bebas tersebut disebabkan unsur suap atau tidak. Masalah ini menjadi tanggung jawab KY untuk melakukan pengawasan dengan baik.
Bila keputusan bebas itu murni dan tidak ada unsur suap, sebenarnya tidak ada masalah. Justru menjadi masalah bila pengadilan tipikor dibubarkan. ’’Hal itu melanggar UU yang menyebutkan bahwa di setiap provinsi ada satu pengadilan tipikor,’’ tambah mantan anggota Pansus UU Pengadilan Tipikor itu. (H28,J22,D3-25)
Sumber: Suara Merdeka, 9 November 2011